CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Jumat, 02 Oktober 2009

Tingkatkan Kualitas Guru dan Pendidikan !

Peran Guru

Guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia, kehadiran guru bagi peserta didik ibarat sebuah lilin yang menjadi penerang tanpa batas tanpa membedakan siapa yang diterangi nya demikian pula terhadap peserta didik. Tetapi, dalam mengemban amanah sebagai seorang guru, perlu kiranya tampil sebagai sosok profesional. Sosok yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan, sosok yang dapat memberi contoh teladan dan sosok yang selalu berusaha untuk maju, terdepan dan mengembangkan diri untuk mendapatkan inovasi yang bermanfaat sebagai bahan pengajaran kepada anak didik.

Peran guru sebagai tenaga pendidik tidak hanya berhenti sebagai pemegang tonggak peradaban saja, melainkan juga sebagai rahim peradaban bagi kemajuan zaman. Karena dialah sosok yang berperan aktif dalam pentransferan ilmu dan pengetahuan bagi anak didiknya untuk dijadikan bekal yang sangat vital bagi dirinya kelak. Bahkan yang lebih penting disamping itu, mereka mampu mengembangkan dan memberdayakan manusia, untuk dicetak menjadi seorang yang berkarakter dan bermental baja, agar mereka tidak minder dalam meghadapi masalah dan dapat bersikap layaknya seorang ksatria.

Maka bagaimanapun juga peran seorang guru tidak dapat diremehkan di dalam bidang apapun, baik yang bersifat pendidikan maupun yang lainnya.Tetapi untuk mencari dan menjadi guru yang seperti itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, melainkan membutuhkan etos dan spirit perjuangan yang luar biasa. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Friedric Wilhelm Nietzsche, seorang filsuf terkemuka abad postmodern. Dia menuturkan bahwa seorang guru sejati adalah mereka yang tidak memikirkan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, kecuali muridnya. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa seorang guru yang benar-benar patut dijadikan tauladan adalah mereka yang terfokus pada anak didiknya, demi tercapainya pencerahan. Karena bagaimanapun juga anak didik adalah cikal bakal maju mundurnya sebuah bangsa. Kemana bangsa ini akan diarahkan itu tergantung pada mereka.


Profesionalitas Guru

Namun masalah pelik yang sering kita hadapi selama ini adalah status guru tidak lagi diindahkan oleh pemegang status itu sendiri. Mereka menjadikan eksistensi guru sebagai profesi. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, banyak orang menjadi guru hanya sebagai alternatif atau pelampiasan (jalan keluar mencari nafkah) saja. Guru semacam inilah yang berbahaya, karena mereka tidak mampu membentuk karakter dan mencerdaskan anak didiknya, tetapi mereka malah justru cenderung menguras harta negara. Disamping itu, demi terisinya mata pelajaran, sekarang ini dari pihak sekolah sering kali salah kamar dalam menempatkan posisi guru sebagai pemegang mata pelajaran. Hal itu menjadi sebab utama rapuhnya pendidikan bangsa ini, karena kurangnya profesionalitas tenaga pengajar.

Tak dapat dipungkiri, benturan finansial seringkali menjadi masalah ketika para guru ingin mengembangkan aspek pengetahuan mereka. Terlebih aspek pengembangan karir dengan cara menimba ilmu ke jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, sebagai seorang yang harus lebih pintar dan lebih pandai dari anak didik nya, mau tak mau cara ini harus ditempuh para guru. Dengan kata lain, meningkatkan profesionalisme itu memang harus diiringi dengan sekolah lanjutan setelah memiliki gelar sarjana ke pendidikan. Ikut ambil bagian dalam berbagai kegiatan seminar kependidikan, diskusi dengan pakar-pakar ilmu pengetahuan dan lain sebagainya termasuk cara untuk mencerdaskan diri di samping menuntut ilmu secara formal. Tentu saja kearifan dan kebijaksanaan dalam proses memenej penghasilan sangat dibutuhkan dalam rangka mempersiapkan pendanaan untuk mendapatkan pendidikan kelanjutan. Tidak sedikit para doktor, profesor atau sarjana lanjutan lainnya yang memenej keuangan mereka demikian rupa, sehingga mampu menyelesaikan pendidikan hingga akhirnya benar-benar tampil sebagai seorang pendidik yang memiliki profesi yang dibanggakan.

Setelah itu para guru akan lebih mempunyai peluang dan harapan untuk mendapatkan posisi tawar dalam berbagai aspek, yang akhirnya mendapatkan finansial yang lebih tinggi dari keberadaan mereka semula yang hanya mengandalkan kemampuan mengajar. Dukungan berbagai pihak memang memberikan peluang. Bila diperhatikan undang-undang, perhatian pemerintah yang memberikan dana finansial bagi para guru honor. Saat ini, berbagai peluang yang mengandalkan kemampuan untuk mendapatkan finansial tambahan sudah cukup banyak. Bagi mereka yang mampu menulis, media surat kabar, umumnya memberikan finansial bila tulisan mereka diterbitkan. Lembaga pendidikan kursus juga menunggu para pendidik yang ahli di bidangnya. Sehingga orang-orang yang profesional akan mengandalkan kemampuannya untuk mendapatkan finansial yang berdampak pada kesejahteraan hidup keluarganya.
Ingatlah, kemajuan zaman akan menggiring manusia yang profesional lebih memposisikan diri sesuai ilmu dan kemampuan mereka masing-masing. Jika tidak, semua orang akan tertinggal, terutama para guru.

Anak didik dengan orang tuanya yang mapan akan memilih sekolah dengan tingkat kecerdasan guru yang mereka anggap profesional pula. Lembaga pendidikan akan melakukan hal yang sama, memilih para guru yang profesional, karena finansial yang mereka berikan sama dengan tingkat pengetahuan dan kinerja para guru yang bakal menjadikan siswa mereka cerdas, mampu berkompetisi dan bisa bersaing dengan siswa lainnya dalam dan luar negeri. Jika tidak dari sekarang membenahi diri ke arah yang profesional kapan lagi.

Hari Guru selalu diperingati setiap tanggal 25 November, tapi sadarkah kita, setiap tahun ribuan pengetahuan baru bermunculan yang memerlukan keseriusan para guru untuk membahasnya. Jika guru yang ada tidak mengembangkan diri dengan harapan lebih profesional, apakah mungkin guru mampu mentransfer ilmu pengetahuan yang baru? Cakap, cerdas dan memiliki posisi tawar adalah ciri guru masa depan, yang selalu mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan dan inovasi, yang selalu ingin maju dari peserta didik nya. Anak didik menjadi insinyur, selayaknya guru-guru mereka menjadi doktor atau profesor.


Mengurangi masalah guru

Problem paling vital yang sedang merajalela di kalangan guru sekarang ini adalah kurangnya keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melindungi martabat eksistensi guru, baik itu guru tetap, negeri, swasta maupun honor. Sekarang ini eksistensi guru swasta sangat memprihatinkan. Seolah-olah mereka adalah anak tiri yang lagi diterlantarkan oleh pemerintah. Hal tersebut diempiriskan oleh banyaknya sekolah-sekolah swasta yang tidak mampu untuk membiayai guru-gurunya, sehingga yang terjadi adalah berkurangnya kualitas guru, bahkan tidak menutup kemungkinan eksistensi sekolah itu akan berakhir dengan tragis dan memalukan.

Jika keanaktirian itu tidak segera diatasi, dan terus membayang-bayangi, maka yang terjadi adalah tidak layaknya keberlangsungan sebuah yayasan, karena selalu meresahkan masyarakat, dengan jalan menarik iuran sekolah terlalu tinggi, tidak mampu menghargai kinerja guru, dan yang teparah adalah ketidakmampuan memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak didik, dikarenakan kurangnya fasilitas-fasilitas sekolah yang harus dipenuhi.


Kesejahteraan guru dan filsafat pendidikan

Jika kita menginginkan perbal belajar mengajar di suatu kelas berjalan seperti yang kita harapkan, maka kita juga harus memperhatikan berbagai kondisi guru. Berapa pendapatannya, bagaimana kehidupanya, sejahterakah keluarganya, dan masih ada sederetan pertanyaan yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Yang lebih pastinya, keutamaan kesejahteraan guru itu tidak hanya sebagai mutu hidupnya saja, tetapi lebih condong pada kualitas pendidikan yang diajarkan. Karena eksistensi guru sebagai manusia tidak mungkin lepas dari ketergantunganya kepada orang lain. Artinya, keberadaan guru sebagai manusia pasti mempunyai keluarga yang harus dicukupinya. Untuk mencukupinya itu pasti memerlukan sesuatu, termasuk uang. Jika kebutuhan itu sulit untuk dicapainya, maka secara otomatis konsentrasinya dalam belajar akan berkurang, dan hal ini berdampak pada kualitas pengajaranya yang berimbas pada murid.

Disamping kekonsentrasian seorang guru, filsafat pendidikan juga perlu dimilikinya, karena filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam peniddikan (Kneller, 1991). Masalah-masalah pendidikan tidak hanya cukup berdasarkan pengalaman, tetapi juga membutuhkan masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Diharuskannya bagi seorang pendidik untuk mengetahui filsafat pendidikan karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup.

Jika ditinjau dari filsafat pendidikan, ada tiga lapangan filsafat, yakni filsafat metafisika, epistemolagi dan aksiologi. Dengan filsafat epistemologi pendidik mengetahui apa yang harus diberikan kepada warga belajar, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi pendidik memahami yang harus diperoleh warga belajar tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut. Hal yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku pendidik, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, warga belajar, pengetahuan,dan apa yang perlu diketahui.

sumber : http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Tingkatkan%20Kualitas%20Guru%20dan%20Pendidikan%20!&&nomorurut_artikel=374

Sabtu, 23 Mei 2009

untUk Mu puJangga Q

oleh : Hati Ini

aQ ta’ ingin menGhancurkan prinsip yanG kW buat
tapi aQ ingin kW disini, di sampingQ
berUlang kaW ucapkan “ biar waktu yang menjAWabnya ...”
namUN aQ ta’ yaQin itu
aQ ingin kepastian....
aQ sadar,
Qt terselimuti oleh keadaan yang Ta’ mungkin tuk dilalui saat ini
aQ dan kW masih menunggu aKan Waktu
tapi, kapan dia datang ?
aQ taw apa maksudmu,,
q harap kW tau maksud Q
terimakasih atas kejujuran dari hatimu

curahan

oleh : hati Q

tersadar,,, bahwa kita akan punah
ciNta yanG Qt punya pun akan sirna
ingin Q robek raut muka Q yang ta’ ramah
ingin Q hancurkan hati ini yang membatu
aQ ta’ dapat berkata
apaLagi Tuk menGukirnya di LanGit
aQ takut...
aQ rapuh...
mungkinkah merEka kan meninGgalkan Q di sini,,, seNdiri ?
kesendirian yang yang membuaT Q rapuh
dikelilingi kalian yang dapat menguatkanQ
kerinduaN bersama MerekA
janGan tinggaLkan Q soBAt...

keadaan Yang Harus Qt pahami

oleh : hati Q..

Teruntuk sahabat yang terlupakan
Bukian Q sengaja mengacuhkanmu
Teruntuk pujaan hati yang menghilang
Q tau kaw ta’ bermaksud lenyap dari Q
Teruntuk ayah bunda,
Q ingin selalu ada untuk Q
aQ taw,, aQ sadar,, aQ memahami..
kalian pernah tergores oleh Q
yang menyakitkan..
sahabat, kasih, ayah bunda....
maafkan Q
aQ yang salah
tapi keadaan ini yang harus kita pahami...
karena cara Q yang membuat goresan itu...
karena Q...sayang kalian

oleh : hati Q

Hati bisa dijaga oleh keindahannya,
Tapi juga bisa hancur oleh makhluknya,
Sebuah peristiwa dapat meleburkan perasaan
Entah apa yang terjadi ,,, aQ memalingkan muka ini dan terlihat seakan jenuh akan hadirmu
Seungguh bukan maksud Q
Tapi aQ memang kecewa denganMu
Rasa kecewa yang akan hilang jika bertemu dengan mu
Maaf aQ yang terlalu sombong karena Q

Komponen-Komponen Kurikulum

Oleh : Akhmad Sudrajat

Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.

A. . Tujuan

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..

Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.

Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.

1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.

Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :

1. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS

* Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
* Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
* Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
* Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

2. Tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA

* Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan negara
* Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi
* Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara
* Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional

3. Tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MAK

* Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat
* Berwirausaha dalam bidangnya
* Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya
* Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.

4. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MAK

* Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
* Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
* Berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
* Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global.

Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.

Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :

1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.

Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.

Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.

Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.

Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.

Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.

Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .

B. Materi Pembelajaran

Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :

1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.

Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.

Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel..

Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.

1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.

Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :

1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.

C. Strategi pembelajaran

Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.

Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.

Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.

Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.

Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.

Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.

D. Organisasi Kurikulum

Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:

1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.

Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan

Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.

E. Evaluasi Kurikulum

Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”

Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”

Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.

Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”

Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.

Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)

Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.

Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :

1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.

sumber : >>
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/22/komponen-komponen-kurikulum/

Prinsip Pengembangan Kurikulum

Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.

Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip – prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; (2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian. Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :

1. Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
2. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
3. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
4. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
5. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum

Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kutural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.

sumber : >> http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/prinsip-pengembangan-kurikulum/

Pendidikan kontekstual

Oleh: Imam Khambali

Lihatlah berbagai persoalan yang kerap diseru oleh para praktisi pendidikan; dari mulai sekolah mahal, kesenjangan kualitas pendidikan di kota besar dan kecil akibat tidak adanya standarisasi antara kualitas ajar, keterbatasan bahan ajar, penghasilan guru yang pas-pas-an hingga bangunan sekolah yang tidak layak huni. Di kota besarpun walau terlihat lebih terfasilitasi tetap terganjal persoalan mahalnya cost yang dikeluarkan agar anak dapat mengecap sekolah bermutu. Walau definisi sekolah bermutupun belum jelas pula. Biasanya lebih terkait dengan fasilitas fisik bangunan, latar pendidikan guru, dan metoda atau acuan kurikulum yang digunakan. Setiap kali mengikuti kegiatan seminar, para guru yang datang dari penjuru Indonesia kerapkali mengeluhkan bagaimana mungkin mereka mampu menyamai Jakarta dalam menghasilkan anak didik yang bermutu. Anak didik bermutu adalah terkait dengan siswa yang berhasil masuk universitas negeri, mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan ke luar negeri, terampil berbahasa inggris dan setelah lulus mendapat pekerjaan di perusahaan besar, perusahaan asing atau minimal BUMN. Demikian opini yang terbangun dalam benak mereka. Sama sekali tidak salah kalau memang ada yang mampu menjalani mekanisme demikian. Tapi kalau kemudian hal itu dijadikan standard yang harus dicapai setiap orang, tentu menjadi salah kaprah. Konsep keberhasilan sangat luas dan mendalam, tidak bisa dikerutkan hanya pada capaian jangka pendek seperti itu. Setiap sekolah harusnya punya punya kepercayaan diri yang kuat untuk membangun konsep tersendiri dalam menjalankan fungsi akademisnya. Tidak hanya sekedar meniru sesuatu hal yang belum tentu pas dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki saat ini. Sekolah di daerah sekarang berlomba untuk membangun sekolah internasional, sekolah terpadu atau minimal nasional plus dengan mengutip biaya yang tidak sedikit. Sekali lagi tidak ada yang salah dengan pilihan demikian. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak terakomodir dalam sistem itu? Apakah kemudian menjadi prediksi suramnya masa depan seseorang? Yang lebih mengkhawatirkan bila rasa "gagal" tidak terakomodir dalam sekolah mahal itu kemudian menumbuhkan agresivitas aktif maupun pasif; dari yang ekstrem berupa kenakalan remaja, demonstrasi yang destruktif hingga yang lebih mendasar berupa rasa minder, menyalahkan keadaan yang tidak mendukung hingga menghujat Tuhan. Heemm. Lebih mengenaskan kalau ini juga berdampak pada para pendidik. Apabila seorang guru tidak punya konsep atau visi yang kuat mengenai arti pendidikan dan tujuannya, mereka juga akan mudah terbawa pada pandangan mengenai tujuan pragmatis pendidikan. Tidak terakomodir dalam sistem yang dipandang sebagai stándar keberhasilan membuat para guru pesimis terhadap masa depan anak didiknya maupun dirinya sendiri. Pola pikir seperti itu tentu akan mempengaruhi perlakuan atau cara seorang guru dalam menangani anak didiknya. Perasaan tersisih, gagal, tidak bermasa depan, minder akan mewarnai sikap seseorang dalam menghadapi persoalan. Seolah pintu sudah tertutup, tiada celah untuk memperbaiki masa depan. Akibatnya? Mencari kambing hitam, adalah defense mechanism yang lazim dilakukan seseorang yang merasa tertekan. Tertekan oleh apa? Oleh beban pikirannya sendiri, tentu. Hal ini bisa dilihat bila dalam suatu kongres atau seminar ada wacana baru yang dihadirkan sebagai alternatif pendekatan pengajaran, para guru akan berkeluh-kesah dulu kemudian menuntut pembicara untuk segera membuat juklak yang langsung bisa dipraktekkan di tempat masing-masing. Mereka sudah lama terbiasa menjadi operator kurikulum, sehingga wacana baru tidak cukup menggairahkan mereka untuk berbuat sesuatu yang baru. Membangun visi para pendidik Kalau disoal elemen apakah yang paling crucial untuk dibenahi, tiada lain adalah guru sebagai elemen yang paling utama. Kurikulum sekalipun hanyalah alat yang dibuat oleh manusia, ia akan menjadi sesuatu yang hidup tergantung oleh yang menyampaikannya. Menurut saya pribadi yang harus segera dibenahi adalah mengkonstruk struktur berpikir para guru mengenai pendidikan. Hal ini menjadi penting agar kita tidak mudah putus asa dan mendorong kita agar berkreativitas dengan sumber daya yang kita miliki saat ini. Saya amati, di Jakarta sekalipun, banayak sekolah kebingungan untuk mengadopsi metoda yang tepat. Bahkan ada sekolah yang mengadopsi beberapa metoda sekaligus tanpa memahami esensi atau key-point dari masing-masing metoda tersebut, sehingga prakteknya tetap tidak terlihat sesuatu yang istimewa. Menariknya ada sekolah dasar dan taman kanak-kanak yang mengklaim berbasis active learning tapi juga menggunakan pojok montessori, sekaligus multiple intellegences, dengan preferences agama tertentu. Belum lagi program-program tambahan lainnya. Ffuuih...seperti hyper-market saja layaknya. Semua ada. Prakteknya? Belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Pokoknya semakin lengkap program atau metoda, maka semakin menyakinkan untuk disebut sekolah bermutu, itu opini kebanyakan orangtua murid. Sekolah seperti ini biasa disebut sekolah terpadu, nasional plus atau berwawasan internasional:p Kalau masing-masing kita ditanya arti pendidikan dan tujuannya, mungkin kita akan menarik garis tegas antara tataran konsep dan praktisnya. Konsep boleh setinggi langit. Tapi tetap yang menjadi capaian adalah target jangka pendek. Seperti misalnya, anak TK harus belajar calistung agar dapat masuk SD favorit, demikian pula di tahapan selanjutnya bagaimana agar siswa didik dapat melewati satu fase dan menempuh fase berikutnya. Akibatnya guru seringkali terfokus hanya dengan bagaimana caranya menyampaikan materi sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bagi yang minat akademisnya tinggi didukung kemampuan mencerap / mengimitasi yang tinggi tentu tidak terlalu menjadi problem. Mereka dapat dengan mulus melampaui apa yang diharapkan dalam target materi. Yang dikhawatirkan bila pola 'menyuapi' seperti ini dibiasakan, maka anak didik akan kehilangan inisiatif, mereka hanya terbiasa meniru dan bekerja berdasar instruksi. Didikte. Tidak perduli apakah yang mereka kerjakan memiliki kontribusi bagi masyarakat sekitar atau tidak. Fenomena ini sangat rentan melahirkan pribadi egois, individualistis. Problem menjadi lebih hebat bila anak didik tidak mampu mengikuti standard tersebut. Akibatnya guru dengan mudah melabeli anak dengan sebutan tertentu dan mengirim anak pada psikolog atau guru BP. Bahkan bagi guru yang lugu, mereka akan dengan mudah menyebut anak didik mereka ber-IQ rendah. Mengenaskan sekali, sudah miskin, tinggal di desa IDT yang terbelakang, kemudian dianugerahi otak yang bodoh pula. Itu keluhan para pengajar di daerah. Tapi menariknya dengan kondisi yang serba terbatas demikian, toh mereka tetap mampu berdikari, dapat bertahan hidup, beranak-pinak membangun keluarga turun temurun. Pasti ada kecerdasan tertentu yang diberikan alam sehingga mereka dapat bertahan. Kalau mereka bodoh pasti kelompok mereka sudah lenyap dari muka bumi. yang menjadi masalah mungkin adalah cara penyampaian yang tidak tepat bagi komunitas tertentu. Guru cenderung menyampaikan sesuatu sesuai dengan pengalaman yang ia terima, ia kemudian hanya melakukan pengulangan. Mengimitasi dari pola yang telah ia pelajari. Tentu akan terjadi banyak benturan bila fokus kita hanyalah pada metoda tertentu, hanya berbasis pada pola pengajaran yang pernah kita terima semasa sekolah dulu. Tanpa didukung oleh visi yang jelas dan kuat yang terinternalisasi didalam diri, kita akan mudah terjebak pada penghitam-putihan. Tidak terbangun motivasi atau inspirasi untuk mengkreasi suatu hal yang baru. Kita terbiasa berpikir linier; bila tidak A, maka gagal. Bukannya bila tidak A maka ada B, C, dst, sebagai ciri orang yang mampu berpikir lateral atau kompleks. Saya sendiri tidak mau berkutat dengan persoalan mendefinisi arti dan tujuan pendidikan. Setiap orang harus mampu membangun visi tersebut dalam dirinya masing-masing. Kalaupun ada tokoh atau instansi tertentu yang mampu menelorkan visi yang bernas mengenai pendidikan, tetap menjadi kerja berat dalam mensosialisasikannya agar berbuah menjadi tindak laku nyata, tidak sekedar menjadi slogan semata. Bagi saya pribadi, konsep pendidikan yang terpahami adalah bahwa setiap orang dilahirkan dengan membawa talenta dari Tuhan. Tugas pendidik adalah mencari cara dalam mendidik yang tepat agar dapat memancing talenta tersebut, mengasahnya agar dapat memberikan manfaat bagi umat. Talenta dimaksud tentu luas sekali, tidak terbatas dengan produk yang kita kenal sekarang. Kita harus berangkat pada pemikiran bahwa anak didik kita membawa sesuatu yang belum kita kenali. Namun tetap ada clue yang secara umum bisa kita tengarai, yaitu lingkungan dimana ia tinggal dan dibesarkan sebagai salah satu aspek penting dalam mengenali jati diri pribadi. Alternatif solusi: pendekatan kontekstual Pernahkah kita amati bagaimana masing-masing daerah memiliki keunikan dari ragam hayati dan nabatinya? Dari kondisi geografisnya? Dari manusianya?. Misalnya, mengapa kota Malang terkenal dengan apelnya? Kota peliatan terkenal dengan penari legongnya? Kota Garut terkenal dengan dombanya? Kota Bunaken terkenal dengan taman lautnya? Bugis terkenal dengan para pelaut tangguhnya? Dan kota Ampek angkek terkenal dengan penjahit ulungnya?. Belum lagi bahasanya yang unik, tiap daerah punya kosakata berbeda untuk menyatakan sesuatu, dengan kekayaan aksen dan logat yang spesifik pada masing-masing daerah. Bayangkan keterampilan yang dimiliki setiap suku bangsa, kita tidak akan menafikannya, bukan?. Kehidupan keseharian para penduduk yang belajar melalui alam menjadi aset penting bagi kita dalam menemukan metoda yang pas dalam mendidik mereka. Guru harus berupaya menemukan metoda dengan memberdayakan potensi lokal, yang berbasis pada kebutuhan kultural. Beberapa kelemahan pendidikan kita adalah me'menara-gading'kan pendidikan dengan tidak menyentuh aspek kontekstual masyarakat sekitar. Pembelajaran seolah menjadi materi tersendiri yang tidak berkesinambung dengan kehidupan keseharian. Materi yang diberikanpun tidak terintegrasi satu sama lain. Secara logika, bagaimana mungkin belajar ilmu bumi dengan memisahkan antara fisika, biologi, kimia dan matematika?. Contoh riil, ketika seorang anak belajar mengenai tumbuhan, harusnya dia belajar bagaimana proses menanam tanaman, juga mempelajari proses kapilarisasi, meneliti unsur kimia tanah / hara yang mempengaruhi perkembangan tanaman, mengamati proses fotosintesa, mengukur tiap inchi perkembangannya, mempelajari bentuknya, menghapal nama latin dari bagian-bagian tanaman, menggambar, membuat prakarya dari bagian tanaman, belajar cycle of life dari tanaman tersebut, dan sebagainya. Project akhirnya adalah membuat presentasi; entah berupa unsur tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, mendisain operet mengenai kehidupan imajinasi tanaman, atau sekedar menceritakan salah satu proses yang telah mereka pelajari. Menarik bukan? Dari satu tema semua materi dapat terintegrasi. Apalagi kalau daerah tersebut memiliki lahan luas seperti pedesaan dan berbasis agrobisnis, wah pasti akan lebih kaya lagi materi yang bisa digali. Kalau ini bisa dilaksanakan, maka kita tidak akan terfokus pada ruang-ruang kelas yang statis, keluhan standarisasi kurikulum, kurangnya fasilitas hingga keterbatasan guru. Kita bisa menyertakan masyarakat sekitar yang handal dalam bidangnya untuk terlibat dalam project sesuai tema yang ditetapkan. Dan utamanya, anak didik menjadi berperan aktif untuk mengeksporasi minatnya, tanpa dibatasi kekhawatiran atas mata pelajaran tertentu. Tumbuhnya minat tersebut yang akan memotivasi mereka untuk belajar secara mandiri, tanpa didikte guru. Beberapa sekolah sudah membuktikan keberhasilan dengan pendekatan kontekstual, ingat 3 siswa SMP alternatif Qaryah Thayyibah di salatiga , yang berhasil lulus ujian nasional? Dari seluruh siswa kelas 3, hanya mereka yang mengikuti ujian tersebut. Alasannya sekedar ingin menguji apakah mereka dapat mengikuti standar yang diberikan. Nyatanya mereka dapat lulus. Padahal mereka belajar mandiri. Teman-temannya yang lain bahkan sudah tidak mempedulikan dengan ujian tersebut karena asyik menyiapkan project masing-masing. Mereka demikian percaya dirinya dengan keputusan yang mereka ambil yang cenderung "melawan arus", dimana saat itu setiap orang berlomba agar dapat lulus ujian walau dengan menempuh cara-cara yang tidak dibenarkan. Di Jogyakarta ada sebuah TK yang mengembangkan pendidikan prasekolah komunitas yang mendekatkan anak dengan lingkungan sekitarnya. Mereka menggunakan istilah racik-racik untuk melatih motorik halus, ngewot galengan atau meniti pematang sawah sambil belajar dan dolanan. Penutup Uraian ini hanya merupakan wacana yang membutuhkan lebih banyak diskusi untuk mematangkan detilnya. Lebih urgensi lagi, dibutuhkan keberanian dari masing-masing diri untuk menguji-coba wacana ini hingga dapat diimplementasi dalam sistem pendidikan kita.

sumber :>> http://khambali.blogspot.com/2009/03/manajemen-pembelajaran.htm

Pendidikan atau pembelajaran jarak jauh

Oleh : Imam Khambali

Pendidikan Jarak Jauh secara tersurat sudah termaktub di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang "Sistem Pendidikan Nasional". Rumusan tentang Pendidikan Jarak Jauh terlihat pada BAB VI Jalur, jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh pada Pasal 31 berbunyi : (1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tata muka atau regular; (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta system penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standard nasional pendidikan; (4) Ketentuan mengenai penyelenggarakan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Ini menunjukan kepada kita bahwa pendidikan jarak jauh merupakan program pemerintah yang perlu terus didukung. Pemerintah merasakan bahwa kondisi pendidikan negeri kita perlu terus dibenahi, dan tentunya diperlukan strategi yang tepat, terencana dan simultan. Selama ini belum tersentuh secara optimal, karena banyak hal yang juga perlu dipertimbangkan dan dilakukan pemerintah didalam kerangka peningkatan kualitas sector pendidikan. Pendidikan jarak jauh pada kondisi awal sudah dijalankan pemerintah melalui berbagai upaya, baik melalui Belajar Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Universitas Terbuka, mapun Pendidikan Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Departemen Pendidikan Nasional, melalui program pembelajaran multimedia, dengan program SLTP dan SMU Terbuka, Pendidikan dan Latihan Siaran Radio Pendidikan. Berkenaan dengan itu, yang pasti sasaran dari program pendidikan jarak jauh tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak bangsa yang belum tersentuh mengecap pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan tidak terkecuali anak didik yang sempat putus sekolah, baik untuk pendidikan dasar, menengah. Demikian pula bagi para guru yang memiliki sertifikasi lulusan SPG/SGO/KPG yang karena kondisi tempat bertugas di daerah terpencil, pedalaman, di pergunungan, dan banyak pula yang dipisahkan antar pulau, maka peluang untuk mendapatkan pendidikan melalui program pendidikan jarak jauh mutlak terbuka lebar. Perlu dicatat bahwa pemerintah telah melakukan dengan berbagai terobosan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Upaya keras yang dilakukan adalah berkaiatan dengan lokalisasi daerah terpencil, pedalaman yang sangat terbatas oleh berbagai hal, seperti transportasi, komunikasi, maupun informasi. Hal ini sesegera mungkin untuk diantisipasi, sehingga jurang ketertinggalan dengan masyarakat perkotaan tidak terlalu dalam, dan segera untuk diantisipasi. Semangat otonomi daerah memberikan angin segar terhadap pelaksanaan program pendidikan jarak jauh. Apalagi bila kita telusuri, masih banyak para guru yang mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, akan tetapi karena keterbatasan dana, ditambah lagi ketidakmungkinannya untuk meninggalkan sekolah, maka cita-cita untuk melanjutkan belum tercapai. Akan tetapi dengan melalui program pendidikan jarak jauh melalui pola pembelajaran multi media yang digalakan oleh Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Pendidikan Nasional, merupakan angin segar bagi para guru-guru yang berpendidikan SPG/SGO untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Diploma Dua melalui Program PGSD. Demikian pula bagi para guru-guru yang baru direkrut melalui program guru bantu yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat maupun guru kontrak yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, pada umumnya banyak lulusan SMU/SMK/MA tentunya dari segi kualitas perlu terus ditingkatkan, apalagi yang menyangkut kemampuan didaktik, metodik dan paedogogik masih perlu banyak belajar, karena selama menjalani pendidikan di sekolah menengah tidak pernah mendapatkan materi tersebut. Mereka-mereka ini perlu diberi kesempatan untuk mengikuti program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selama dua tahun. Katanya Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Dinas Pendidikan Nasional bekerjasama dengan LPTK, dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota tahun depan akan melaksanakan program pendidikan jarak jauh, yang akan diujicoba untuk lima propinsi se Indonesia, Yakni Propinsi Riau, Sumatera Barat, Papua, Gorontalo, dan Ujung Pandang. Pola yang diterapkan melalui program pembelajaran multimedia, dengan melibatkan LPTK yang ada, Dinas Kabupaten/Kota serta Pustekkom Propinsi. Para guru tidak perlu lagi meninggalkan tugas mengajar, dan tentunya proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif seperti biasa. Para tutorial dan teknisi dari LPTK yang akan datang ke daerah untuk melakukan proses pembelajaran. Telah terjadi distribusi hak dan wewenang antara, LPTK, Pustekkom, Dinas Pendidikan, dalam proses pelaksanaan, dan masing-masing tetap menyatukait, dan ada beberapa program yang dilaksanakan secara bersama-sama. Hal ini telah diatur sesuai dengan kesepakatan antara LPTK, Dinas Pendidikan, Pustekkom beberapa waktu yang lalu. Untuk itu Dinas Pendidikan Propinsi Riau bersama dengan LPTK (FKIP UNRI) akan melaksanakan sosialisasi tentang program ini, telah melakukan rapat koodinasi tanggal 15 November 2003 bersama seluruh kepala Dinas Pendidikan Propinsi Riau. Pada kesempatan itu Pemerintah Pusat melalui Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi memberikan beberapa informasi pada pertemuan itu. Sehingga kesepakatan untuk melaksanakan program peningkatan Sumber Daya Manusia dalam hal ini "Guru" dapat terwujud sesuai dengan apa yang direncanakan. Semoga.

sumber :>> http://khambali.blogspot.com/2009/03/manajemen-pembelajaran.html

Kikis Elitisme Sekolah Standar Sarana dan Prasarana Pacu Mutu Pendidikan

Jakarta, Kompas
Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan yang diujipublikkan di Jakarta, Sabtu dan Minggu (3/12), diharapkan memacu pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Salah satu hal mendasar yang distandarkan menyangkut jumlah rombongan belajar berikut jumlah peserta didik.
Pematokan jumlah rombongan belajar dengan sendirinya mengikis elitisme sekolah. Sekolah yang telanjur maju dan berkembang tidak lagi seenaknya menerima siswa sebanyak mungkin. Sebaliknya, sekolah yang tertinggal berpeluang menerima siswa lebih banyak lagi agar bisa maju dan berkembang.
Pematokan rombongan belajar dan jumlah siswa tercermin pada komponen lahan dan bangunan sekolah. Antara lain ditetapkan bahwa jumlah rombongan belajar SD/MI maksimal 24 kelas, masing-masing 28 siswa. Untuk SMP/MTs dipatok maksimal 24 rombongan belajar (kelas), masing-masing 32 siswa. Adapun untuk SMA/MA rombongan belajar dipatok maksimal 24-27, masing-masing 32 siswa.
"Fenomena elitisme sekolah perlu dikikis. Kita berharap tidak ada lagi kisah bahwa sekolah yang maju kian maju, dan sekolah yang gurem makin tertinggal," ujar Edy Tri Baskoro, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang mengoordinasi penyusunan standar tersebut.
Penjelasan Edy tersebut menggarisbawahi masukan-masukan yang dilontarkan oleh para peserta uji publik. Dalam diskusi kelompok, peserta yang terdiri atas unsur birokrat, dewan pendidikan, pengelola sekolah, LSM penggiat pendidikan, dan pers, terungkap fenomena elitisme sekolah. Sekolah yang favorit cenderung membuka kuota siswa baru sebanyak-banyaknya. Akibatnya, sekolah yang tertinggal cenderung menyusut siswanya.
Terungkap bahwa penumpukan siswa di sekolah tertentu dan penyusutan siswa di sekolah lainnya membuat kian senjangnya mutu pendidikan. Sebab, sekolah yang dihuni banyak siswa cerdas cenderung jadi unggulan. Sebaliknya, sekolah yang dihuni siswa yang tidak cerdas menjadi sulit berprestasi.
Danny Meirawan, Ketua Tim Ahli Standar Sarana dan Prasarana BSNP, menilai bahwa penyebaran siswa yang cerdas dengan tingkat ekonomi yang beragam ke berbagai sekolah diperlukan untuk mendinamisasi iklim pembelajaran. "Selain memeratakan potensi sumber penghasilan sekolah, penyebaran siswa yang cerdas ke berbagai sekolah juga akan memacu atmosfer pembelajaran yang baik di sekolah-sekolah lainnya," tutur Danny.
Sekretaris BSNP Suharsono mengatakan, masukan dari pemangku kepentingan kelak menyempurnakan draf yang sudah disusun oleh tim ahli BSNP sejak April 2006. Selanjutnya, hasil finalisasi akan direkomendasikan untuk dikuatkan melalui Peraturan Mendiknas.
"Standar ini tidak serta-merta berlaku pada semua sekolah. Ada masa transisi lima-enam tahun untuk menyesuaikan dengan standar ini," ucapnya.
Hal lain yang terstandarkan adalah ruang perpustakaan, laboratorium, tempat berolahraga, bengkel kerja, tempat bermain, serta sumber belajar lain yang menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi komunikasi/informasi. (NAR)

sumber : http://www.lazuardi-gis.net/Articles%20old/articles1206/06a.htm

Disdik Palu Matangkan Program Sarana Standar

PALU - Setiap satuan pendidikan menurut Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Palu, Ardiansyah Lamasitudju SPd, wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Setiap satuan pendidikan, juga wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas seperti pada rombongan belajar dan ruang kelas yang harus sama, agar tidak ada lagi siswa yang sekolah double seat, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang serta tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Program ini menurut Ardiansyah sesuai dengan amanah Permendiknas RI No 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (SD dan MI), Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah (SMP dan MTs), dan Sekolah Menengah Atas serta Madrasah Aliyah (SMA dan MA). Juga berdasarkan, Permendiknas RI No 40 Tahun 2008 tentang Standar Sarana Prasarana untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).

“Di 2009 ini, Disdik Kota Palu akan mematangkan pendataan pembuatan data base guna mendukung program sarana standar. Program sarana standar tersebut bertujuan agar sarana sekolah harus memadai dalam kaitannya mendukung mutu pendidikan,”katanya ditemui Jumat kemarin (1/5).
Untuk pengadaan buku, diwajibkan satu siswa satu buku permata pelajaran, pengadaan alat peraga harus memadai dengan kebutuhan siswa dan dan pengadaan alat pendidikan lainnya. Jumlah guru juga harus berdasarkan jumlah rombongan belajar dan mata pelajaran. Untuk itu dihindari tradisi mutasi. Artinya jika di sekolah A sudah terpenuhi gurunya berdasarkan standar, maka tidak perlu lagi ada mutasi.
Terkecuali urai Ardiansyah, di sekolah A ada guru yang meninggal, dipromosi atau ikut suami maka guru di sekolah tersebut baru diisi kembali. Agar kebutuhan guru di sekolah tersebut tetap terpenuhi tidak lebih dan tidak kurang.
"Semua program yang akan kami jalankan tersebut tidak secara keseluruhan akan tetapi akan dilakukan secara bertahap. Sehingga diharapkan pemerataan akan tujuan pendidikan itu dapat terlaksana. Walaupun harus diakui membutuhkan suatu proses,"paparnya.
Hanya saja kata Ardiansyah menambahkan bahwa sebagai langkah awal, progran sarana standar ini baru dilaksanakan di tingkat SD dan MI.(suf)

sumber :http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Palu&id=51298

820 Gedung Sekolah di DKI Jakarta Belum Berstandar Nasional

Written by Aris Rahman
(Jakarta, MADINA): Sebanyak 820 gedung sekolah negeri di DKI Jakarta belum berstandar internasional. Model sekolah standar internasional antara lain dilengkapi sarana penunjang pendidikan sesuai Permendiknas No. 24 tahun 2008 tentang standar sarana dan prasarana pendidikan.
Kepala Disdik (Dinas Pendidikan) DKI Jakarta, Taufik Yudhi di Balaikota, dari 1.689 gedung sekolah negeri yang belum menjadi sekolah model meliputi 660 SDN, 105 SMPN, 28 SMAN dan 16 SMKN. Sarana penunjang standar nasional antara lain ruang serbaguna, ruang UKS, perpustakaan, laboratorium, ruang kecakapan.

Sementara Kabid Sarana dan Prasarana Disdik DKI Jakarta, Didi Sugandi menambahkan, untuk pembangunan gedung sekolah ke depan akan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang distandarkan Permendiknas.

Gedung sekolah yang rawan ambruk di DKI Jakarta dengan tingkat kerusakan 65 persen tercatat 306 sekolah (18 persen) dan direkomendasikan untuk direhab total. Gedung yang perlu direhab berat 274 sekolah dan sudah direkomendasikan direhab serta rusak sedang 220 sekolah.

Selain itu, tercatat 256 sekolah dengan kondisi kekurangan daya tampung terutama sekolah di daerah pinggiran atau diperbatasan Detabek (Depok, Tangerang dan Bekasi). Di musim hujan ini ada 132 gedung sekolah yang lokasinya di daerah banjir.

“Ini akan diprogram untuk sekolah panggung, ucap Taufik. Nah, untuk sekolah yang belum memiliki surat kepemilikan tanah atau sertifikat tercxatat 849 sekolah dan yang status tanahnya sengketa 24 sekolah,” tambah Didi.

Gedung SDN, SMPN, SMAN dan SMKN yang direkomendasikan untuk direhab memenuhi standar sarana prasarana pendidikan sesuai permendiknas No. 24 tahun 2009 dengan kkreteria usia bangunan di atas 30 t6ahun, rawan ambruk, konstruksi belum standar masih menggunakan bahan kayu dan sudah rapuh serta belum memiliki ruang penunjang seperti perpustakaan, laboratorium, UKS, ruang keterampilan dan tempat ibadah.

Anggaran yang diusulkan tahun 2009 untuk rehab total 306 gedung sekolah mencapai Rp 542.376.502.708 untuk 88 lokasi. Anggaran tersebut termasuk pengadaan perabot Rp 20.306.910.200 di 15 lokasi. Namun realisasi anggarannya hanya Rp 233.059.346.361 untuk 38 lokasi sekolah. Anggaran itu termasuk pengadaan perabor Rp 7 miliar untuk 6 lokasi.

Menjawab pertanyaan soal apakah setiap program rehab satu paket dengan pengadaan mebeler, Didi menegaskan, biasanya sudah diiringi dengan anggaran pengadaan perabot. Karena itu, sekolah dilarang membebankan pengadaan mebeler ke orangtua murid. (kim)

sumber : http://www.madina-sk.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5716&Itemid=5

Hak Normatif Mahasiswa

Hak Normatif Mahasiswa Refleksi sembilan tahun gerakan Reformasi) Pendahuluan Dalam perjalanan panjang bangsa-bangsa di dunia tidak ada sebuah pergolakan (baca: pergerakan) yang tidak di dorong oleh mahasiswa, sebutlah peristiwa malari tahun 1966 peristiwa lapangan tianmen sampai jatuhnya pemerintahan orde baru 1998. Gerakan mahasiswa ditahun 1998 adalah suatu gerakan yang paling masif dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia, dengan melibatkan jutaan mahasiswa dalam sebuah komitmen gerakan reformasi, gerakan ini berhasil melengserkan kekuasaan selama 32 tahun. Tak satu pun tokoh-tokoh besar politik dunia yang bukan seorang aktifis, di Indonesia sebutlah misalkan Sukarno, Hatta, Amin Rais, Akbar Tanjung dan lain sebagainya. Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa mahasiswa yang selalu menjadi motor pergerakan dan perubahan suatu bangsa? dan hak serta kelebihan seperi apa yang di miliki mahasiswa sehingga memiliki predikat agent of Chenges (agen dari perubahan)? Mahasiswa dan lingkungan Akademik Mahasiswa sebenarnya adalah sebutan dari sekelompok warga belajar di perguruan tinggi yang mengenyam pendidikan untuk orang dewasa dengan pendekatan kemandiriaan, tidak ada yang istimewa dalam proses ini selain pendekatan pengajaran yang menekankan pada pemberian ilmu 25 % materi yang diberikan dosen dan 75% kemandirian, kemandirian ini sebenarnya menjadi sebab mahasiswa lebih kreatif dalam proses pencarian ilmu. pengalaman menempa sebuah kerangka pemikiran idiologis dalam wacana pemikiran yang terbuka, wawasan yang di kembangkan dalam sistem pendidikan dikampus menjadi pemicu lahirnya pemikir-pemikir muda yang haus akan penyempurnaan ilmu pengetahuan dalam idialisme yang kental. Di tambah lagi pada usia 18 s/d 25 adalah usia pancaroba (dalam konteks pencarian diri dan pendewasaan pemikiran) karenanya mahasiswa selalu dianggap agent of Chenges (agen dari perubahan) Lingkungan akademis yang mengajarkan penalaran, logika, pemikiran secara ilmiah, kemandirian, demokratisasi yang biasa disebut lingkungan akademis (ilmiah: berdasarkan sains/ ilmu) telah mengantarkan mahasiswa berpikir kritis, terbuka dan merdeka ditambah lagi dengan tujuan universitas sebagai lembaga yang mendukung pembangunan masyarakat dengan berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri; (poin c) berperan besar dalam pembangunan masyarakat yang demokratis, adil dan makmur; (poin e PP tentang BHMN UGM 26 des 2000) akhirnya mengatarkan mahasiswa pada posisi sebagai kekuatan moral yang mandiri dan demokratis mengikuti tujuan dari universitas sebagai lembaga akademis lingkungan mahasiswa dalam kampus yang memiliki dimensi Tridarma perguruan tinggi yang menekankan kepada pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat telah pula mengukuhkan kampus sebagai lembaga yang bebas, merdeka dalam berpikir serta kritis terhadap lingkungan yang tidak sesuai dengan keilmuan yang di ajarkan, kondisi ini semakain kuat menjadikan mahasiswa pada posisi yang tidak jarang berseberangan dengan kepentingan politik kelompok, agama, budaya dan strata sosial yang menghendaki status quo, pada proses inilah yang melahirkan pertarungan- pertarungan panjang idiologi antara kepentingan rakyat yang di aspirasikan oleh mahasiswa dan kepentingan- kepentingan kelompok, golongan di lain pihak, pertarungan ini terkadang membawa dampak mahasiswa harus berhadapan pada moncong senjata, pentungan petugas, gas air mata dan intimidasi kelompok-kelompok preman yang mencoba memaksakan pemahaman kepada mahasiswa. Kesadaran akan perubahan yang di tempa dalam alam keterbukaan pemikiran yang bebas dan merdeka menjadi sebab mengapa mahasiswa menjadi komonitas paling sering menjadi kritikor, pendemo dan istilah-istilah lainnya. Pertarungan antara idealisme yang di dapat di kampus (teori) dengan praktek yang terjadi dimasyarakat yang selalu saja berbeda dan menyimpang sering menggugah jiwa muda untuk segera mengkritisi dan mendorong perubahan, itu pula mengapa mahasiswa idiologis sering diartikan sebagai oposisi atau oposan. Hak nomatif mahasiswa dalam lingkungan Akademis Lingkungan kampus yang di identikan dengan akademis ternyata tidaklah seperti yang di gambarkan dalam visi serta misi universitas, terkadang kampus dimasuki, serta disusupi oleh kepentingan politik semisal parpol dan negara, tak jarang kekuasaan masuk sampai kampus dalam tataran kebijakan dan teknis, rektor yang bukan merupakan jabatan politis dalam kenyataanya tidaklah berbeda dengan jabatan politis semisal walikota dan bupati apa lagi pada kondisi negara ini yang masih belajar berdemokrasi. kondisi seperti ini takjarang menyebabkan kampus seperti negara kecil yang penuh dengan polemik dan intrik yang pada akhirnya menyebabkan mahasiswa kehilangan hak-hak normatifnya. Hak nomatif mahasiswa mengikuti hak normatif yang ada pada warga negara yang biasa disebut hak azasi ditambah hak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tabun 1990 Bab X pasal 106 memuat 11 butir hak mahasiswa dan pada Pasal 107 memuat 6 butir kewajiban mahasiswa. Adapun hak hak mahasiswa adalah sebagai berikut: pertama Menggunakan kebebasan akademik secara bertanggung jawab untuk menuntut dan mengkaji ilmu sesuai dengan norma dan susila yang berlaku dalam lingkungan akademik, kedua Memperoleh pengajaran sebaik baiknya dan layanan bidang akademik sesuai dengan minat, bakat, kegemaran dan kemampuan, ketiga Memanfaatkan fasilitas perguruan tinggi dalam rangka kelancaran proses belajar ke empat Mendapat bimbangan dari dosen yang bertanggung jawab atas program studi yang diikutinya dalam penyelesaian studinya ke lima Memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan program studi yang diikutinya serta basil belajarnya. Ke enam Menyelesaikan studi lebih awal dari jadwal yang ditetapkan sesuai dengan persyaratan yang berlaku ke enam, Memperoleb layanan kesejahteraan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan lainnya Sedangkan kewajiban kewajiban mahasiswa adalah pertama lkut menanggung biaya penyelenggaraan pendid�kan kecuali bagi mahasiswa yang dibebankan dari kewajiban tersebut sesuai degan peraturan yang berlaku, kedua Memenuhi semua peraturan/ketentuan yang berlaku pada perguruan tingg� yang bersangkutan, ketiga lkut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan perguruan tinggi yang besangkutan, ke empat Menghargai Ilmu pengetahuan, teoknologi, dan /atau kesenian dan kelima Menjaga kewibawaan dan nama baik perguruan t�nggi yang bersangkutan Hak normatif mahasiswa dalam bernegara Hak normatif mahasiswa sebagai warga negara sama dengan warga negara lainnya seperti mendapatkan pendidikan, kebebasan berbicara dan berpendapat, kesehatan, keadilan dan sebagainya ditambah dengan Kebebasan akademis yang di peroleh dari kampus Hak Kebebasan akademis sebagai nilai tambah (Value Add) mahasiswa inilah yang harus dijaga sebagai gerakan moral yang murni, lepas dari segala kepentingan dan tarikan-tarikan politik kekuasaan, kebebasan akademis yang biasanya di wujutkan dalam gerakan pembaharuan yang membawa hati nurani rakyat harus dijaga independensinya mengikuti visi dari sebuah universitas dimana mahasiswa itu menuntut ilmu. Urgensi sebuah gerakan Gerakan perubahan biasanya merupakan klimaks dari sebuah gagasan pemikiran yang telah terstuktur dari seluruh komponen masyarakat secara umum, yang merupakan bagian dari kepedulian mahasiswa terhadap lingkungannya yang berperilaku tidak seperti yang diajarkan di kampus, bisanya keterpanggilan ini akan dinama dengan sebuah tanggungjawab yang pada akhirnya akan diberi cap oleh masyarakat sebagai kewajiban mahasiswa untuk mendorong perubahan yang terjadi pada suatu tatanan masyarakat. Gerakan akan perubahan yang merupakan kewajiban terhadap masyarakat dan hak dari setiap mahasiswa untuk menyalurkannya adalah suatu yang sangat penting, sama halnya dengan fitrah hidup manusia yang selalu bergerak dan tidak statis, mahasiswa sebagai agen perubahan harus terus melakukan gerakan-gerakan yang mendorong sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan menuju kearah yang di namis. Ambifalensi yang terjadi adalah ketika mahasiswa telah di masuki oleh kepentingan-kepentingan politik jangka pendek, menyebabkan gerakan mahasiswa yang murni di kotori oleh kepentingan- kepentingan sesaat semisal aksi dukung mendukung pemilihan; legeslatif dan eksekutif seperti; Bupati, walikota, Gubernur dan Presiden. Kondisi ini selalu saja akan membawa implikasi terpecahnya gerakan mahasiswa, tumpulnya idiolegi dan menyebabkan gerakan mati muda, seperti gerakan reformasi yang saat ini terjadi. Kita berharap suatu saat nanti perubahan yang di dorong oleh mahasiswa tidak lagi mati muda seperti kondisi yang berulang-ulang terjadi.... semoga * adalah Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998 dalam Forum Mahasiswa Sumatera Utara (FORMASU) kini dosen Akuntansi Unimed. E-mail; ri4al@yahoo.com


Penulis): Muhammad Rizal.SE.,M.SI
sumber :www.re-searchengines.com

KIAT MENANGKAL PELANGGARAN KETERTIBAN SEKOLAH

Ketertiban siswa sering kali kita dengar sebagai suatu masalah di sebuah sekolah , apalagi pada jenjang sekolah menengah yang siswa- siswanya beranjak dewasa dan mulai belajar mengenal jati diri pribadinya.dimana siswa sering melakukan pelanggaran di sekolah. Kondisi yang tidak menguntungkan dan cukup memprihatinkan ini, sekolah secara umumnya membentuk Tim Ketertiban Sekolah agar sekolah menjadi lebih baik. Namun sering kali tidak efektif dan mengalami banyak halangan serta hambatan dilapangan. Selain harus mengeluarkan dana tambahan dengan membentuk tim ketertiban, namun sering kali tidak efektif karena tidak didukung oleh guru- guru yang lainnya dan keterbatasan guru serta kepeduliannya kurang terhadap siswa. Siswa secara psikologis menurut Mulyani (1988) pada umur 12 - 18 tahun dimana perkembangan anak digolongkan sebagai remaja yang mempunyai keinginan baru dan membutuhkan sarana aktivitas yang lebih untuk menumpahkan segala kegiatannya sehingga dengan minimnya sarana dan prasarana mudah membuat siswa akhirnya dapat menimbulkan permasalahannya dari ketertibannya. Input siswa yang serba kekurangan yang merupakan sisa dari sekolah- sekolah favorit dimana sekolah yang tidak favorit menjadi tempat pelimpahan dari siswa yang perilaku siswanya sering tidak masuk katagori baik akhirnya menjadi masalah ketertiban sekolah semakin meningkat. Peran orang tua dalam hal kepedulian ketertiban sekolah sangat besar dalam pembentukan psikologis siswa karena waktu yang dipergunakan lebih banyak di rumah dan lingkungannya. Pergaulan serta teman bermain sangat menentukan perkembangan anak. Pengawasan masyarakat dan kontrol umpan balik masyarakat sangat diperlukan mengingat perilaku siswa diluar sekolah melambangkan kualitas penanganan sekolah tersebut.. Apalagi dalam situasi keluarga pasca modern dengan kesibukan kedua orang tuanya sehingga mereka tidak mampu mengawasi anaknya dengan baik. akan membawa dampak terhadap pelanggaran ketertiban di sekolah. Menurut Anita ( 1996) hal ini disebabkan banyaknya suami istri bekerja sama- sama mencari nafkah, angka perceraian tinggi, sejumlah keluarga diasuh satu keluarga saja sehingga anak diasuh oleh pembantu atau lebih tepatnya dibesarkan pembantu. Sebagai langkah awal dalam upaya untuk menanggulangi upaya ketertiban yaitu 1.Meningkatkan disiplin anak & sedikit demi sedikit mengurangi indisipliner pembelajaran 2.Mewujudkan kinerja sekolah.yang dinamis, mengasyikkan, menyenangkan & mencerdaskan 3.Mengadakan antisipasi dalam mengatasi berbagai hal dalam proses pembelajaran. Menurut Nursisto (2002) ada beberapa langkah yang dapat digunakan dalam upaya mengatasi ketertiban sekolah dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketertiban yang ada di sekolah. a. Langkah strategis mencegah siswa yang suka mencoret- coret . 1. Menggalakkan pelaksanaan kegiatan 6 K. 2. Tempat duduk siswa sesuai dengan denah yang telah ditentukan. 3. Sebulan sekali diadakan bersih lingkungan sekolah termasuk didalam kelas. 4. Setiap satu satu semester dilakukan kerja bakti massal sekolah. 5. Dicantumkan sanksi bagi pelaku corat coret didalam tata tertib sekolah. 6. Dalam suatu kesempatan tertentu diberikan tugas oleh guru agar siswa membuat karangan bertemakan corat coret. 7. Satu atau dua menit setiap jam pelajaran berlangsung, guru memeriksa lingkungan didalam kelas. 8. Dilaksanakan lomba kebersihan dan keindahan kelas dalam setiap event kegiatan sekolah. 9. Bila tingkat kesadaran para siswa sudah tumbuh, piket membersihkan ruangan dilakukan siang hari. b. Langkah mencegah Siswa membawa alat main dan buku porno. 1. Sering dilakukan rasia dengan tiba- tiba. Tim ketertiban secara mendadak masuk dalam semua kelas serentak dan isi tas satu persatu diperiksa dengan teliti. 2. Menyita barang terlarang yang kedapatan di dalam tas atau tersimpan dalam meja siswa 3. Ketika sedang mengajar guru memperhatikan kondisi siswa. 4. Ketika mengajar guru sesekali memberikan pertanyaam kepada siswa. 5. Posisi guru mengajar jangan hanya selalu didepan kelas, kadang kala di belakang kelas. 6. Mencantumkan pelarangan membawa barang yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran. 7. Guru BP diaktifkan peranannya agar jangan melakukan hal- hal terlarang tadi. c. Langkah mencegah Siswa merokok dan membawa narkoba lebih pelik dibandingkan keduanya, langkahnya sebagai berikut : 1. Dilakukan penggeledahan isi tas siswa. 2. Secara khusus sekolah melakukan pengawasan kepada beberapa siswa yang patut dicurigai. 3. Pihak sekolah melakukan kerja sama dengan pihak- pihak lain di luar sekolah misalnya warga sekitarnya, kepolisian dan pemerintah setempat. 4. Memberikan laporan secepatnya kepada orang tua apabila siswa terjadi tanda- tanda menggunakan rokok dan narkoba. 5. Diadakan ceramah penyuluhan tentang bahaya merokok atau mengkonsumsi narkoba oleh pihak yang berkompetensi. 6. Perlunya dikembangkan budi pekerti yang dikaitkan dengan pelajaran agama. 7. Orang tua mengisi surat pernyataan bahwa bila ternyata anaknya terlibat pelanggaran merokok dan narkoba sanggup dikeluarkan. d. Langkah mencegah perkelahian siswa dilingkungan sekolah maupun luar sekolah. 1. Sekolah menyediakan media penyaluran bakat dan minat siswa sehingga mampu menyalurkan energinya yang secara berlebihan lewat kegiatan ekstra kurikuler yang diadakan sekolah. 2. Dibentuknya tim- tim olah raga dan seni di bidang- ekstra kurikuler. 3. Pembuatan program- sekolah dengan memberi peluang untuk siswa agar mampu menuangkan prestasi dan hasil seninya. 4. Perlunya kerjasama dengan pihak pengurus OSIS yang ada di lingkungan sekolah lainnya dalam upaya agar kalau terjadi sesuatu hal maka dapat menjadi penengah. 5. Dilakukan program bersama dan kegiatan terpadu dalam kegiatan pengurus OSIS yang ada dilingkungan sekolah lainnya pada saat momen yang tepat. e. Langkah mencegah siswa tidak menggunakan seragam dan kelengkapan dengan baik 1. Guru meluangkan waktu sebentar untuk mengingatkan da menegur siswanya disetiap awal pelajaran dimulai terutama jam pertama pelajaran agar selalu menggunakan pakaian secara baik. 2. Adanya kontinuitas dari petugas BP dan Tim ketertiban agar melakukan penertiban seragam yang tidak sesuai ketentuan. 3. Melakukan razia secara mendadak dengan menertibkan siswa yang bajunya tidak sesuai dengan ketentuan. 4. Mencantumkan sanksi bagi siswa yang tidak menggunakan seragam sesuai ketentuan didalam tata tertib sekolah. f. Langkah dalam membuat tabel point disiplin siswa. 1. Diperlukan komitmen dari guru dan siswa mengenai apa saja yang dapat dijadikan ukuran dalam meningkatkan disiplin sekolah serta disepakati bersama dalam tabel point disiplin siswa. 2. Diperlukan sosialisasi ke siswa dan orang tua berkaitan tabel point kedisplinan siswa di sekolah. 3. Orang tua mengisi surat pernyataan bahwa bila ternyata anaknya terlibat pelanggaran point kedisplinan sekolah dan sanggup dikeluarkan. 4. Diberikan reward penghargaan bagi siswa dan kelas yang point melanggarnya rendah. 5. Adanya kontinuitas dari petugas BP dan Tim ketertiban agar melakukan evaluasi kegiatan berkaitan dengan tabel point kedisplinan siswa. 6. Mengumumkan secara kontinu siswa dan kelas yang mempunyai point kedisplinan yang tertinggi dan terendah. Didalam upaya ketertiban siswa di sekolah, tidak hanya siswa saja yang dijadikan obyek yang selalu disalahkan namun diperlukan juga manajemen sekolah yang baik agar dalam pelaksanaan ketertiban sekolah dapat berjalan dengan baik. Langkah- Langkah yang dilakukan sekolah berkaitan dengan ketertiban sekolah. 1. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar secara baik. Sering kali pelanggaran ketertiban siswa muncul diawalai pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) yang kurang baik dan sistem inval dari guru piket tidak berjalan secara baik, apabila guru tidak masuk karena sesuatu hal maka sering kali kelas kosong dan tidak ada pengawasan dari guru. Sehingga diperlukan suatu system kerjasama antara pihak- pihak yang ada di sekolah baik guru, siswa , orang tua dan kepala sekolah sebagi manajer disekolah dapat dilakukan secara baik 2. Penuntasan Peserta Didik Bermasalah. Dengan menangani anak didik yang bermasalah secara tuntas dengan segera maka dapat mencegah timbulnya masalah- masalah yang semakin banyak dan menumpuk sehingga tertanganinya anak didik bermasalah secara baik pula. Disini peran petugas BP dan wali kelas sangat besar dalam upaya membina anak didiknya dikelas 3. Pembinaan Keimanan & Ketaqwaan (Imtaq). Dalam membangun Imtaq siswa tidak hanya beban dari orang tua saja namun diperlukan kerjasama antara sekolah, orang tua dan masyarakat sekitarnya. Perpijak dari hal tersebut baik orang tua, sekolah dan masyarakat melakukan pengawasan dan pengendalian agar mampu membina siswa dengan melakukan kegiatan keagamaan di sekolah dan dimasyarakat bila perlu dikembangkan MPMBI (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Imtaq) di sekolah.(Tirto Adi: 2002) Hal hal yang perlu dikembangkan dalam upaya meningkatkan ketertiban sekolah terhadap : a. Siswa . Dengan mendukung terwujudnya visi, misi sekolah yang aman dan adil. Sebahagian siswa yang acuh tak acuh dilibatkan peranannya dalam kegiatan disekolah. Dan dikembangkan pada siswa semangat dan merasa bangga punya disiplin poin yang rendah b. Guru. Guru mendukung dalam menjalankan disiplin yg komprehensif dan diperlukan sosialisasi dalam hal ketertiban sekolah bagi guru yang masih belum memahami esensi yg sebenarnya. Perlu dikembangkan perasaan bangga karena anak didik tunjukkan sikap disiplin yg dikehendaki dan meningkatkan motivasi dalam hal menangani anak bermasalah.dan tidak menjadi beban terhadap diri-sendiri. c. Orang tua dan Masyarakat Mendukung sekolah.yang punya disiplin sekolah yang seperti ini. Untuk sebahagian masih ada yang kurang mengerti diperlukan sosialisasi agar mengerti perlunya ketertiban di sekolah. Dikembangkan rasa bangga karena ada perubahan pada sikap anak mereka setelah anaknya dibina di sekolah serta meningkatkan keterlibatannya di sekolah.

sumber >>: www.re-searchengines.com

BELAJAR BERFIKIR DENGAN MELIBATKAN OPERASI MENTAL

BY: MICKAUS GOMBO, S.Pd

Penulisnya adalah pemerhati pendidikan dan praktisi pendidikan Jika kita duduk sejenak dan mengamati kondisi perkembangan pendidikan yang ada dinegara kita dan lebih terutama pada hasil belajar dari peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan, maka dapat disayangkan.
Mengapa demikian, karena dari sekian tadik yang tersebar dan menekuni diberbagai jenjang pendidikan jika dievaluasi hasilnya, maka hampir ¼ % persen dari suatu jenjang pendidikan yang dapat memperoleh predikat kelulusan yang dikelompokkan bagus (memuaskan) dan selanjut sebagian itu hanya selesai dengan kemampuan dibawah rata-rata dari standar yang diharapkan oleh masing-masing lembaga pendidikan berdasarkan standar nasional. Untuk mengetahui faktor penyebab turunnya mutu pendidikan yang ada maka letaknya ternyata pada: 1. Faktor Guru Dalam hal ini guru harus memiliki peran ganda.Maksudnya guru harus inovatif, yaitu mencari dan terus mencari hal-hal baru ( current ivent case ) untuk membekali diri dalam mendayung awal kepada peserta didik sebagai tumpangannya. Sebagai guru dalam hal ini ibarat seperti pendayung perahu dan siswa sebagai tumpangannya, sehingga guru harus mendayung dan guru tersebut mencari metode-metode dan kaidah-kaidah secara tepat, agar perahu yang didayung segera ke tepi danau atau sungai. Dimaksudkan oleh penulis adalah guru harus menjadi seorang model yang baik, agar siswa dapat meniru dan memberikan spirit dengan gaya pribadinya. Guru diharapkan juga menjadi sumber referensi hidup (Life Reference sourch) dimana guru minimal mampu menjadi sumber inspirasi pendidikan dan berusaha selalu menanam budaya membaca dan berusaha menulis serta mengkaji setiap peristiwa yang berhubungan dengan profesi dirinya. Adapun beberapa tips atau tugas guru/pengajar yang harus dilakukan yaitu: a. Ajari dan melatih siswa untuk bagaimana siswa itu dapat membaca suatu naskah atau suatu pertanyaan secara sistematis bukan impulsif. Mengapa demikian? Karena siswa tidak membaca secara sistematis, maka apa yang dibaca tidak akan dipahami secara baik dan akhirnya tidak dapat memberi jawaban, kesimpulan serta keputusan yang pasti(benar). Saya selaku pengajar dalam bidang studi matematika saya coba hendak memberi contoh berdasarkan hasil pengalaman mengajar dibawah ini, yaitu tadik selain mengenal dan menghafal model, kami juga melatih dan mengajarkan bagaimana mereka mengoperasikan mental mereka kedalam mencari atau memecahkan suatu masalah. Selain diajarkan operasi mental mereka, juga mengajarkan metode serta kaidah-kaidah yang berhubungan dengan content materi. Contoh dalam matematika seperti ini. Saya beri persamaan linear seperti . Dan bentuk seperti ini banyak guru matematika hanya memperkenalkan tentang bentuk/model saja, tanpa memperkenalkan atau menjelaskan maksud yang terkandung pada simbol-simbol persamaan linear itu, maka hal ini kebanyakan tadik tidak mengetahuinya. Maka dalam tulisan ini saya berikan usul kita mengajak siswa bahwa simbol yang kita sebut dengan variabel x itu merupakan mewakili dari suatu benda atau suatu ide. Saya usul pula kepada pengajar siapun, jikalau mejelaskan kepada tadik harus mengatakan bahwa jika kita menulis hal seperti itu membutuhkan waktu dan tempat, sehingga cukup mewakilkan dengan suatu huruf yang kita sebut dengan variabel/peubah, agar mereka tidak menghafalkan letak dan susunan serta lambangnya saja, tetapi terlebih dari itu mereka harus mengetahui makna yang tersirat dalam lambang-lambang itu. Dengan demikian konsep matematika dapat dipahami secara benar dan baik oleh tadik. Misalkan benda itu seperti ini: 1 ikat kangkung tambah 2 ikat kangkung tambah 3 ikat kangkung Supaya lebih mudah, cukup kita wakilkan kangkung dengan huruf x Jika ide diatas kami susun secara matematis dengan simbol tertentu, maka susunannya seperti dibawah ini: 1.x + 2.x + 3.x atau X + 2X + 3X dengan keterangan sebagai berikut: X = Variabel X; X = banyaknya nama jenis ikatan kangkung 1,2,3 = konstanta banyaknya ikatan kangkung. Contoh lain: Melihat suatu barisan dengan pola dan kaidah tertentu seperti ini. 1, 2, 4, 8, ... , .....; Maksudnya supaya bagaimana tadik menemukan solusi dengan cara melibatkan operasi mental. Operasi mental ini tak dapat berdiri sendiri, namun dalam operasi mental seseorang harus diawali dengan pola-pola tertentu secara logis dan sistematis serta digunakan dengan metode-metode tertentu sesuai dengan skop pembicaraan/pembahasan. Pola diatas dapat dilihat lebih lanjut seperti ini; 1x2=2, 2x2=4, 2x4=8,....,2x16=32, dst. Selanjut menemukan suatu ide baru yang disebut dengan mewakili seperti yang kami singgung diatas. Bentuk ide seperti inilah disebut rumus/formula. Berdasarkan pola penyelesaian diatas dapat ditetapkan rumus seperti dibawah ini: n x 2 = ..., n bisa diganti dengan apa saja entah bilangan atau sesuatu yang lain dengan keterangan jelas serta mempunyai kondisi atau persyaratan tertentu supaya mempunyai nilai dan arti. Dalam pemecahan-pemecahan ini peserta didik kerap kali menggunakan metode-metode tertentu sesuai dengan sifat materi dan dalam hal seperti ini disebut �?o Algoritma �?o ( W.S.Winkel 16:1987 ) 2. Faktor Fasilitas Faktor fasilitas juga dapat mempengaruhi pembentukan pikiran tadik, sebab dimana fasilitas yang memadai proses Belajar mengajarpun dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebab kondisi fasilitas yang dapat membentuk pribadi dalam mengundang motivasi dan minat belajar semakin meningkat. Fasilitas yang dimaksudkan oleh penulis disini adalah baik itu sarana maupun prasarana yang ada pada tempat belajar siswa atau tadik itu sendiri. Misalkan dalam mempelajari IPA harus ada LAB IPA, dengan tujuan agar mempelajari sesuatu hanya dengan ceritera atau teori saja sulit dipahami serta sulit dibayangkan penjelasan guru, maka perlu adanya kegiatan nyata dengan cara mengekspose benda yang diceritera atau dijelaskan kepada tadik. Dengan cara mereka melihat, meraba, atau mencium mereka dapat membayangkan dan menghubungkan pikiran-pikiran yang pernah pelajari atau pernah melihat sebelumnya dengan benda yang ia melihat sekarang. Disinilah peserta didik dapat memperoleh pengalaman belajar baru yang lebih komplite, maka secara tidak langsung proses operasi pembentukan mental sedang terjadi saat itu juga. 3. Faktor Kesiapan MENTAL Tadik Selain kedua faktor diatas adapula satu faktor yang sangat mempengaruhi dalam pembentukan pikiran dengan melibatkan operasi mental, yaitu faktor kesiapan oleh para warga belajar atau siswa itu sendiri, sebab perlu diketahui bahwa peserta didik ibarat seperti ember kosong yang siap diisi air dan metode/pendekatan hanya sebagai corong yang menghubungkan, serta guru ibarat sebagai mesin penggeraknya. Dengan demikian tadik siap memfokuskan pikiran ketika guru menjelaskan atau menyiram pelajaran yang disiapkan oleh guru itu sendiri. Dalam hal ini guru diharapkan mencari metode-metode dan pendekatan untuk membangkitkan motivasi dan minat pada bidang yang ditekuninya. Untuk lebih menarik dan tidak membosankan kami menyisipkan sebuah proses secara skematis dibawah ini.

sumber : >> www.re-searchengines.com