CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Minggu, 01 Maret 2009

STRATEGI PEMBIAYAAN PENDIDIKAN TINGGI

Oleh : Sofian Effendi1

UUD 1945 menetapkan salah satu kewajiban konstitusional negara adalah

mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebut

PT mempunyai tugas amat luhur dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak saja

dipandang mampu menentukan kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatan

kinerja ekonomi nasional, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosial

melalui akses ke perguruan tinggi.

Subsidi adalah instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk

merealisasikan keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan publik, termasuk

pendidikan tinggi. Pada tahun anggaran 2004, misalnya Pemerintah menyediakan hampir

Rp 100 trilyun untuk subsidi, diluar subsidi untuk pendidikan tinggi sebesar Rp 6,1

trilyun.

Pembiayaan untuk peenyediaan layanan pendidikan tinggi selama ini didukung

oleh APBN yang jumlahnya masih belum cukup memadai, sekitar 2 persen dari total

pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah tersebut adalah untuk subsidi biaya

pendidikan tinggi sebesar 80-85 persen dari total biaya pendidikan per mahasiswa.

Namun sekarang, kondisi keuangan pemerintah tidak setebal dulu, padahal untuk

menmpoertahankan standar mutu nasional dan peningkatan akses PT perlu dukungan

dana yang semakin besar. Pilihan yang dilematis sekarang harus dibuat oleh Pemerintah.

Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dengan menyediakan subsidi seadanya sebesar

Rp. 6,2 juta per orang untuk semua mahasiswa dengan konsekuensi PT tidak mampu

mempertahankan mutu akademik dan akses semakin timpang? Atau, beri PT kemandirian

untuk melakukan strategi pembiayaan yang lebih rasional sehingga dapat meningkatkan

1 Penulis adalah Guru Besar Kebijakan Publik dan Rektor Universitas Gadjah Mada.

2

mutu, meningkatkan tingkat partisipasi PT menjadi 20 persen pada 2010, serta

peningkatan akses kelompok masyarakat kurang mampu ke PT berkualitas?

Resep Prof. Nicholas Barr

Ternyata Indonesia bukan satu-satunya bangsa yang mengghadapi kondisi

dilematis ini. Bangsa Inggris juga sedang menghadapi masalah pendidikan yang sama

yakni, merosotnya kualitas akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke

perguruan tinggi.

Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics

(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof.

Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “How

best to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancing

loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk white

paper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnya

untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris.

Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih oleh dua

partai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris adalah isu

kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan tinggi. Partai

Torries, yang merupakan partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongan

kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, Partai

Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang

mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, para

mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian.

Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak

selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi.

Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan

menyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics,

subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk

membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah.

Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan

kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu ke

pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu.

3

Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistem pasar, akses keluarga kurang mampu

mencapai 43 persen.

Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik

kondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung

rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah

dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs

pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk

anak-anak keluarga tidak mampu.

Opsi kedua, yang menjadi agenda politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya.

Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggi bermutu tinggi harus membayar biaya

investasi masa depannya. Yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke

pendidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman.

Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah

menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji

bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji

ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendah

mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsi

ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampu

yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjaman

untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi..

Mungkinkah diterapkan di Indonesia?

Seperti halnya di Inggris, pendidikan tinggi kita saat ini sedang menghadapi 3

tantangan yang amat berat yakni kesenjangan mutu dibandingkan dengan PT regional

Asean, tingkat partisipasi terbatas, hanya 13 persen, dispartitas akses antara golongan

masyarakat kurang mampu dan yang mampu, dan rendahnya efisiensi internal.

Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut diperlukan dukungan biaya cukup

besar. Simulasi yang diadakan oleh rekan-rekan di UGM, memperkirakan biaya untuk

meningkatkan akses keluarga kurang mampu dari kondisi sekarang, 3.3 persen menjadi

10 persen dengan angka partisipasi pendidikan tinggi sebesar 15 persen, diperlukan biaya

pendidikan sebesar Rp.19,9 trilyun, dengan catatan biaya pendidikan Rp. 18,1 juta per

mahasiswa per tahun seperti rencana Ditjen Dikti. Jumlah tersebut hanya untuk

4

membiaya lebih kurang 1 juta mahasiswa di seluruh PTN. Untuk membiaya 5,6 juta

mahasiswa di seluruh PT diperlukan biaya sebesar Rp. 69,4 trilyun per tahun. Bila

standar mutu yang hendak dicapai adalah standar mutu di PT Malaysia, diperlukan

anggaran sebesar Rp. 154 trilyun per tahun untuk 1 juta mahasiswa PTN,. Untuk

menyediakan pendidikan tinggi berstandar mutu regional Asean bagi 5,6 juta mahasiswa

diperlukan biaya sebesar Rp. 662,4 trilyun.

Ada tiga opsi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk membiayai

pembangunan pendidikan tinggi yang bertujuan mengatasi 3 masalah pokok sebgaimana

dimaksud. Opsi pertama, adalah seperti opsi yang dipilih Partai Torries di Inggeris,

Pemerintah memberi subsidi pendidikan tinggi untuk semua mahasiswa yang diterima di

perguruan tinggi, Untuk merealisasikan janji politik ini perlu disediakan anggaran

pendidikan tinggi sebesar Rp. 19,9 trilyun sampai Rp. 69,4 trilyun, tergantung dari

standar mutu dan tingkat partisipasi yang hendak dicapai. Artinya diperlukan peningkatan

pengeluaran untuk pendidikan tinggi antara 3 sampai 12 kali, tergantung dari standar

mutu yang hendak dicapai.

Opsi kedua, adalah Subsidi Silang dengan menerapkan full-payment kepada

keluarga mampu, memberi subsidi penuh kepada mahasiswa dari keluarga tidak mampu,

dan subsidi 50 persen kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan menengah. Biaya

untuk melaksanakan opsi ini berkisar antara Rp. 11,4 trilyun sampai Rp 97,1 trilyun bila

standar mutu yang hendak dicapai adalah standar mutu PT di Malaysia dan Singapura.

Opsi ketiga, adalah Penyediaan Pinjaman Pendidikan Tinggi dengan subsidi

bunga kepada keluarga tidak mampu dan keluarga kurang mampu. Jumlah kredit

tergantung dari besarnya biaya pendidikan yang dikenakan oleh masing-masing

Universitas. Biaya yang harus disediakan Pemerintah untuk subsidi bunga berkisar antara

Rp. 798 milyar untuk standar nasional sampai Rp. 6,797 trilyun per tahun untuk kira-kira

1, 3 juta mahasiswa perguruan tinggi negeri yang mencapai standar mutu PT Malaysia

dan Singapura. Angsuran pinjaman pokok sebesar Rp 72 juta per mahasiswa untuk

membiayai pendidikan tinggi selama 4 tahun dengan standar nasional, sampai Rp. 616

selama 4 tahun untuk pendidikan tinggi berkualitas Malaysia dan Singapura dibayar

kembali dengan mengenakan potongan terhadap pendapatan sejumlah persentase tertentu.

Dengan kata lain system pembayaran seperti ini memungkinkan lulusan dengan

5

pendapatan lebih tinggi membayar jumlah yang lebih besar, sehingga waktu pelunasan

hutangnya lebih pendek.

Karena peningkatan mutu pendidikan tinggi adalah agenda politik yang tidak

dapat ditawar lagi, sebaiknya Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Indonesia

Bersatu memilih Opsi Ketiga untuk mengatasi kendala pembiayaan guna melaksanakan

kebijakan nasional perndidikan tinggi. Alokasi APBN yang tesedia untuk pendidikan

tinggi diperkirakan mencapai Rp. 6 – 7 trilyun per tahun. Jumlah tersebut amat

memungkinkan pelaksanaan program pembangunan pendidikan tinggi untuk

meningkatkan mutu, meningkatkan partisipasi dan meningkatkan akses pendidikan tinggi

secara berkeadilan untuk 1,4 – 1,5 juta mahasiswa. Program ini akan mempunyai

dampak positif terhadap popularitas Kabinet Indonesia Bersatu.

Yogyakarta, 22 Oktober 2004

0 komentar: