CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Minggu, 19 April 2009

Belum Ada Survei Jumlah Penyandang Autisme

Jakarta, Kominfo Newsroom - Yayasan Autisme Indonesia (YAI) menyebutkan, meskipun jumlah anak penderita autis terus meningkat, namun belum pernah ada survei khusus mengenai jumlah penderita autis di Indonesia, meskipun dari indikator yang ada, jumlah penderita autis yang ditangani dokter maupun psikolog dari tahun ke tahun terus meningkat.

Ketu a YAI dr. Melly Budhiman mengatakan bahwa jumlah penderita autis terus meningkat dari tahun ke tahun, dan kini tidak hanya ada di kota-kota besar saja, tetapi sudah merambah di daerah-daerah. Sayangnya hingga kini belum ada survei yang menunjukkan seberapa banyak jumlah penderita autis.

''Peningkatan jumlah penderita dilihat dari indikator berdasarkan pengalaman praktek para dokter sejak tahun 1990-an. Saat itu pasien yang ditangani setiap hari sekitar tiga atau empat orang, tetapi kini dari 99 persen pasien yang berobat, 12 pasien adalah penderita autis, dan tiga orang di antaranya adalah penderita baru yang rata-rata berusia 2-5 tahun,'' kata Melly Budiman, dalam konfrensi pers peringatan hari Autis se-dunia, di Jakarta, Kamis (2/4).

Selain itu, karena sedikitnya tempat pengobatan dan terapi untuk penderita autis mengakibatkan pasien harus menunggu sampai tiga bulan untuk dapat terlayani, apalagi akibat mahalnya biaya pengobatan, membuat mereka yang tidak mampu akan mengalami kesulitan untuk membawa anaknya berobat dan melakukan terapi.

''Terapi itu dihitung per jamnya, dan itu biayanya sangat mahal,'' tambahnya.

Ia menjelaskan, sedikitnya dibutuhkan dana Rp 1 miliar untuk melakukan survei, dan karena keterbatasan dana tersebut, akhirnya YAI berinisiatif melakukan survei untuk wilayah DKI Jakarta. Sebelumnya Departemen Kesehatan pada 2008 lalu menjanjikan untuk mendirikan pusat terapi autis di setiap rumah sakit pemerintah, namun hingga kini belum terealisasi.

Melly menjelaskan, autisme sebenarnya bukan penyakit, melainkan suatu gangguan dalam perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya terlihat sebelum umurnya mencapai tiga tahun, dan gangguan perkembangan ini disebabkan adanya gangguan pada neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak anak, sehingga mereka mempunyai kesulitan berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif.

''Ciri-cirinya antara lain susah berbicara atau berbicaranya tidak jelas, cuek dan ketika berkomunikasi tidak menatap mata. Tidak peka terhadap suara,'' ujarnya.

Meski penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun di antaranya karena faktor gaya hidup, polusi udara, narkotika, makanan yang tercemar limbah, misalnya ikan laut, dan sayuran yang masih mengandung pestisida.

''Jika polusi terhirup atau makanan yang terkena limbah tertelan, maka dapat mengubah gen sehingga terjadi mutasi genetik, sehingga orang tua akan menghasilkan gen yang lemah bagi anak yang sedang dikandungnya,'' katanya.

Ditambahkan, anak yang gennya lemah kemudian terpapar di lingkungan yang negatif akan merusak otak yang akan berpengaruh pada perkembangan otak anak.

Namun lanjutnya, jika cepat diketahui sejak awal, maka autisme dapat diatasi melalui terapi. Meskipun tidak dapat seperti orang normal lainnya, katanya, namun penderita autis dapat dikatakan sembuh jika mereka sudah dapat membaur di masyarakat luas.

''Terminologinya yakni dengan mengoptimalkan kualitas yang dimiliki penderita dengan mengembalikan mereka ke jalur perkembangan yang normal,'' tambahnya.

Untuk itu menurutnya, perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap berbagai permasalahan seputar autisme perlu terus ditingkatkan.

Menurutnya, saat ini semua pihak fokus pada sosialisasi mengenai autisme, namun belum pada penanganan yang tepat, sementara kemampuan penderita autisme sangat beragam dan tidak dapat disamaratakan.

Sebagian dari anak penyandang autisme ada yang mampu untuk bersekolah di sekolah umum sementara sebagian lain memerlukan pendidikan di jalur khusus.

Ia berharap semua pihak terkait dapat membuka lebih luas lagi pendidikan bagi penyandang autisme, khususnya kalangan dunia pendidikan untuk dapat meningkatkan pengetahuan tentang autisme agar siap dan mampu memberikan pendidikan yang memadai bagi pemyandang autisme. (T.Jul/ysoel)

http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=36&artid=3147

Jumlah Bocah Autis Meningkat Pesat, Pemerintah Amerika Serikat Bingung dan Kewalahan !

Meningkatnya jumlah penyandang autis di California menjadi problem bagi pemerintah setempat. Sebab, anggaran pendidikan mereka cukup tinggi, jauh berlipat dibandingkan pendidikan umum.

Hasil penelitian menunjukkan, biaya pendidikan untuk anak autis per tahun mencapai USD 39 ribu (sekitar Rp 327 juta). Sementara itu, pendidikan reguler hanya memerlukan USD 8.558 (sekitar Rp 77,8 juta).

''Masalah ini memang benar-benar sedang kami hadapi,'' kata Janelle Kubinec, associate vice president Pelayanan Pendidikan California, perusahaan yang memberikan nasihat dana pendidikan di negara bagian tersebut.

Besarnya biaya pendidikan khusus itu membuat pemerintah distrik harus menyisihkan dana dari pendidikan reguler. Tahun ini, kata Kubinec, jumlah yang disisihkan meningkat 4 persen dibandingkan pada 2000. Penyebabnya adalah inflasi, tingginya permintaan pelayanan, dan semakin banyaknya penderita autis.

Dilansir San Francisco Chronicle, dalam 10 tahun terakhir, jumlah anak usia sekolah yang mengalami autis di California meningkat hingga empat kali lipat. Saat ini ada sekitar 46 ribu bocah autis di sana. Sebagai perbandingan, pada 2000, 2 di antara 1.000 anak di California didiagnosis menderita autis. Kini persentasenya meningkat menjadi 7 di antara 1.000 anak.

''Pertumbuhan dramatis dari jumlah anak-anak yang terkena autis merupakan krisis kesehatan masyarakat,'' jelas ahli dari California Legislative Blue Ribbon Commission on Autism yang berdiri pada 2005 itu.

Salah seorang anak autis yang bisa menikmati pendidikan khusus tersebut adalah Jonah Kasoff, 11. Menurut keluarganya, bocah yang hidup dalam dunianya itu menunjukkan kemajuan berkat pendidikan khusus yang diterimanya.

''Tidak dimungkiri lagi bahwa Jonah telah sangat terpengaruh autisnya,'' ujar nenek Jonah, Marv Kasoff. ''Tapi, kini dia semakin pintar dan bisa belajar, serta mengalami kemajuan bagus,'' tambahnya.

Pendidikan untuk anak autis tidak hanya terkendala biaya. Sistem pendidikan dan tenaga pengajar yang memadai di California juga dinilai kurang mendukung untuk perkembangan mereka.

http://www.acehforum.or.id/jumlah-bocah-autis-t15660.html?s=010d14e79a6edc5b7900f8cadba4db6c&

Pendidikan Murah buat Anak Autis

Oleh SITTA R MUSLIMAH
Artikel ini dimuat Kompas Jawa Barat, Sabtu 03 2008

Malang nian nasib anak-anak autis dari kalangan keluarga tidak mampu. Mereka harus rela ditelantarkan para pendidik dan lembaga pendidikan karena biaya pendidikan bagi anak autis di Indonesia harganya selangit. Kasus ini menimpa seorang Satpam di daerah Jakarta yang harus membiayai pendidikan anaknya yang autis sebesar seratus ribu per hari, sedangkan gajinya tidak sampai seratus ribu per hari.

Realitas seperti di atas mengindikasikan bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus memang harus berduit atau kaya. Lantas, bagaimana nasib anak autis dari kalangan tidak mampu? Apakah mereka harus merelakan diri hidup tanpa bimbingan dan pendidikan?

Padahal, jika diteropong secara eksistensial dan psikologis mereka juga berhak mendapatkan layanan pendidikan dari para ahli. Ketika sebuah keluarga miskin memiliki anak autis, misalnya, karena orientasi pendidikan bagi mereka mahal, boleh jadi akan menjadi beban psikologis dan menambah persoalan kian rumit. Apalagi, dengan wawasan keluarga tentang gejala autisme pada anak di Indonesia masih minim. Maka, dapat dipastikan jika anak autis dari kalangan tidak mampu telantar begitu saja.

Mereka akan tumbuh dan berkembang dalam rentang masa hidupnya tanpa diberikan pendidikan yang layak dan seimbang sehingga di masa depan dapat dipastikan jika eksistensinya akan tergerus oleh arus kehidupan. Oleh karena itu, bagi lembaga yang mewakafkan tenaganya untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus, mencoba memberikan ruang kepada anak autis dari keluarga miskin agar memeroleh pengajaran adalah keniscayaan.

Mendirikan yayasan sendiri

Di dalam UUD 1945, secara tersurat dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas pendidikan. Namun, realitas berbicara lain. Anggaran subsidi dari pemerintah untuk pendidikan anak autis tidak pernah ada, padahal kalau mengacu pada UUD 1945, anak autis dan berkebutuhan khusus (special needs) lainnya juga adalah seorang anak yang berhak memeroleh pendidikan. Maka, agar anak autis miskin bisa mendapat pendidikan murah, pemerintah harus menganggarkan (APBN atau APBD) biaya untuk pendidikan anak autis.

Sedangkan bagi keluarga kaya (aghniya) yang memiliki anak autis, dikarenakan mahalnya biaya pendidikan, solusi yang tepat adalah mendirikan yayasan swakelola untuk buah hatinya. Karena sekarang ini trend model pendidikan “Homeschooling” tengah menjamur dan hal ini bisa dimanfaatkan oleh mereka untuk dijadikan model pendidikan bagi anaknya. Kalau ingin mewakafkan sebagian harta yang berlebihan, di dalam yayasan swakelola tersebut, ada semacam pemberian pendidikan murah untuk anak autis dari kalangan tidak mampu.

Memberikan satu atau dua hari di dalam seminggu kepada anak autis dhuafa untuk merasakan pendidikan dari para ahli terapis, saya kira cukup dalam mewakafkan biaya untuk uk uran yayasan swakelola. Syukur-syukur kalau turun anggaran dari pemerintah. Maka, anak dengan gejala autis dari kalangan keluarga miskin bisa mendapatkan pendidikan dan eksistensinya sebagai bagian dari umat manusia dan bangsa ini terakui.

Misalnya di tempat kerja saya, di salah satu yayasan keluarga yang memiliki anak autis kembar, karena alasan inefektivitas dan ingin selalu dekat dengan anak, ia mendirikan yayasan anak autis. Sekarang, yayasan tersebut mengarah kepada pendirian lembaga pendidikan khusus bagi anak dengan gejala autis. Ketika menginformasikan hal tersebut kepada salah satu teman semasa kuliah, ia memberikan masukan untuk memberikan ruang bagi anak autis tidak mampu. Alasannya, pendidikan untuk anak autis harganya melangit, sehingga nasib seorang anak dari keluarga tidak mampu terkatung-katung karena tidak mendapatkan penanganan sejak dini dari oran g tua dan terapis.

Gagasan pendidikan murah

Mantan aktivis di organisasi kemahasiswaan itu, merasa iba dengan nasib saudaranya yang memiliki gejala-gejala autisme tapi tidak memeroleh pendidikan dikarenakan ketidaktahuan oran g tua dan tidak tersedianya lembaga pendidikan khusus murah di daerahnya. Meskipun ada, hanya lembaga pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB) di kota dan jaraknya jauh dari desa, sehingga terbentur dengan biaya. Dengan nada sedikit bercanda, entah serius, ia berujar: “kalau begitu mah, saya harus mendirikan pesantren anak autis bagi anak tidak mampu”.

Diskusi menarik dan alot itu, menyadarkan saya untuk menyampaikan gagasan pendidikan murah bagi anak autis kepada pemilik yayasan di mana saya bekerja dan mengabdi. Karena, mengutip pengalaman saudara teman saya dari kalangan keluarga tidak mampu, saudaranya itu terlihat tidak menampakkan perkembangan jiwa dengan seumurannya. Hal itu diakibatkan, anak autis tersebut tidak mendapatkan penanganan dari para ahli, sehingga meskipun anak yang sebaya dengannya telah menginjak kelas satu SMA, dari sisi perilaku ia terlihat tidak sesuai dengan perkembangan.

Hal itu disebabkan tidak adanya pendidikan yang peka terhadap keberadaan anak berkebutuhan khusus (special need) dari kalangan miskin. Apalagi, dengan orientasi lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus di negeri ini yang belum bisa diakses kalangan miskin, menjadikan banyak sekali bergelimpangan anak-anak yang terlantar kemudian tidak memeroleh pendidikan dan bimbingan. Hal ini menjadikan eksistensi anak-anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak autis, terpinggirkan meskipun ada payung hukum berupa UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah untuk memenuhi hak anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pengajaran dan pengarahan sehingga bisa berperan bagi bangsa ke depan.

Kurang dari 5 persen anak-anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang menikmati layanan pendidikan. Dari perkiraan 1,5 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia , baru 66.000 anak yang mendapat layanan pendidikan (H.U. Kompas, 07 November 2007 ). Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa pemerintah belum secara serius menggarap pendidikan murah bagi anak-anak berkebutuhan khusus dari kalangan tidak mampu, karena boleh jadi dari sekitar 1, 5 juta anak itu terdiri dari anak berkebutuhan khusus yang miskin. Alhasil, baru sekitar 66.000 anak saja pada tahun 2007 yang mendapatkan layanan pendidikan. Apalagi bagi anak autis di Indonesia. Boleh jadi hanya segelintir orang tua kaya saja yang bisa menyekolahkannya dan memperoleh layanan pendidikan kendati harus merogoh banyak uang di kantong.
Di Indonesia, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah anak autis; tapi diperkirakan jumlahnya mencapai sekitar 150 –200 ribu orang. Saya pikir sebagai warga bangsa yang beradab memerhatikan anak-anak yang tidak mampu tersebut dengan memperjuangkan pendidikan murah atau gratis, merupakan misi membangun bangsa berperadaban di masa mendatang. Kita, tentunya, akan tetap menjadi bangsa besar jika saja tanpa pandang bulu memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus dan utamanya kepada anak autis dari kalangan tidak mampu. Sebab, mereka juga adalah harapan bangsa. Bukan cacat bagi Negara ke depannya. Wallahua’lam

http://sittaresmiyanti.wordpress.com/2008/04/02/pendidikan-murah-buat-anak-autis/

Dikecam, Istilah Autisme untuk Ejekan

”Gelar Aksi, Penyandang Autis Bagikan Bunga”

JOGJA – Penggunaan istilah autisme yang semakin marak di ruang publik memunculkan keprihatinan dari komunitas autis. Bagi mereka, penggunaan istilah itu menunjukkan rendahnya empati masyarakat kepada penyandang autis. Autisme, menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah gangguan perkembangan anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu. Definisi autisme, dengan demikian, jelas merujuk pada gangguan perkembangan kejiwaan (neurological disorder). Namun, istilah autisme sering digunakan untuk mendeskripsikan sikap masa bodoh, tidak peduli, atau acuh tak acuh dengan keadaan. Istilah inilah yang memicu rasa prihatin dari komunitas autis, terutama bagi pendidik dan orang tua penyandang autis. Mereka mengkhawatirkan dampak jangka panjang yang ditimbulkan, terutama bagi penyandang autis sendiri. M Yasin, guru sekaligus pendiri SLB Autisme Bina Anggita Jogja menyatakan, penggunaan istilah autisme sebaiknya tidak sembarangan. Apalagi bila digunakan sebagai lelucon. ’’Dari berbagai diskusi yang saya ikuti di milis, saya jadi tahu perkembangan istilah autisme di kalangan masyarakat. Yang paling keterlaluan adalah menggunakan istilah autis untuk bahan guyonan,’’ tuturnya kemarin (2/4). Dia menyebut ungkapan ’’dasar autis’’ sebagai salah satu ungkapan yang keterlaluan. ’’Ini tidak pantas untuk dijadikan ejekan. Apalagi bila yang berbicara adalah orang yang sama sekali buta autisme,’’ sesalnya. Sebagai guru yang mengajari anak-anak autis setiap hari, dia paham betul perjuangan luar biasa para orang tua dalam membesarkan anak autis. ’’Mendidik anak autis agar mandiri, punya etika dan paham auran serta norma butuh kebesaran hati dan kesabaran yang sangat tinggi. Karena itu, ejek-ejekan dengan istilah autisme sangat tidak bisa saya terima,’’ tutur pria yang mengkhususkan diri mengajar autis sejak tahun 1994 ini. Keberatan juga muncul dari salah ibu yang anaknya menyandang autis, Tri Sudaryati. Yati, panggilan akrabnya, adalah ibu dari penyandang autis Ofi Novarga. ’’Penggunaan istilah autis yang sembarangan itu menyakitkan, terutama buat kami, keluarganya. Kalau anaknya sendiri sih mungkin malah tidak paham,’’ tuturnya. Sebagai ibunda Ofi, Yati merasakan sendiri sulitnya mendidik Ofi. Ketika putranya ngambek dan tidak mau bersekolah lagi, misalnya. Sejak Desember 2007, Ofi tidak mau lagi bersekolah di Fredofios, sekolah autis. “Akhirnya saya dan bapaknya berusaha menciptakan system home schooling untuk Ofi. Kami juga menyediakan banyak buku di rumah agar dia bisa terus update pengetahuan,” tutur dosen Fakultas Peternakan UGM ini. Yati menilai, penggunaan istilah autis yang tidak tepat disebabkan minimnya pengetahuan dan empati masyarakat. Kasus autis ini hanya salah satu contoh rendahnya empati yang diberikan kepada orang berkebutuhan khusus. ’’Misalnya, orang pincang sering ditirukan dan ditertawai. Padahal menjadi pincang bukan pilihannya. Guyonan dengan istilah autis juga sama,’’ kata wanita yang juga memprakarsai berdirinya sekolah Fredofios. Memperingati hari peduli autis sedunia (HPSA) yang jatuh pada hari kemarin (2/4), puluhan anak autis dari SLB Bina Anggita menggelar aksi di perempatan Kantor Pos Besar. Di jalan 0 km itu, mereka membagikan bunga-bunga kertas kepada para pengguna jalan. Puluhan anak autis berbagai usia iyu memberikan setangkai bunga kertas bertuliskan ’’Autisme World Day’’. Para penyandang autis itu juga memberikan leaflet tentang autisme kepada pengguna yang lewat. Menurut M Yasin, Pendiri SLB Bina Anggita Jogja, penyebaran informasi autisme itu perlu dilakukan kepada banyak orang. Lambatnya penanganan dan rendahnya tingkat penerimaan masyarakat terhadap penyandang autis diakibatkan minimnya informasi. ’’Bisa dibilang, masyarakat kita itu belum melek autisme. Pengetahuan mereka sejak sepuluh tahun lalu sudah berkembang, tapi empati yang ditunjukkan belum maksimal,’’ ujarnya. Karena itu, upaya pengenalan informasi dasar autisme masih dirasa perlu. ’’Kami menyebar leaflet ini kepada para pengguna jalan. Seandainya dia tidak punya keluarga yang menyandang autisme, dia bisa menggunakan informasi ini bagi dirinya sendiri,’’ tuturnya seusai aksi bagi bunga. Yasin mengajak sebagian dari murid-muridnya di Bina Anggita sebagai bukti anak autis bisa diajak keluar dan tidak seenaknya sendiri di jalan. ’’Memang, secara natural, anak autis itu tidak bisa diatur dan seenaknya sendiri. Karena itu berbahaya kalau dibiarkan sendiri di jalan. Tapi kalau dilatih mereka lama-lama akan teratur,’’ terang pria yang juga mendirikan SLB serupa di Magelang. Tidak hanya masyarakat yang perlu diberi pengetahuan autisme lebih. Pemerintah juga perlu terus diingatkan tentang anak-anak berkebutuhan khusus ini. Menurut Yasin, anggaran pendidikan untuk anak autis memerlukan biaya yang besar. Sampai saat ini, pembiayaan masih ditanggung keluarga. Yasin mengakui anggaran bagi para penyandang autis sangat minim. ’’Kemarin, saya baru saja diundang rapat yang membahas soal subsidi pendidikan. Tidak ada dana untuk anak autis,’’ keluhnya. Bantuan dari pemerintah bukannya belum pernah ada. Ada tapi jumlahnya tidak mencukupi untuk penyediaan alat-alat peraga yang sebagian besar diimpor dari luar negeri. Selain itu, pemerintah kadang memberikan bantuan yang tidak tepat sasaran. ’’Masak anak autis diberi bantuan alat peraga untuk tunanetra. Kebutuhan kami kan berbeda dengan mereka,’’ lanjutnya. Melalui Resolusi No 62/139, PBB secara resmi menyatakan 2 April sebagai HPSA. Saat ini, penyandang autis di dunia diperkirakan lebih dari 35 juta. Namun belum ada penelitian terbaru yang mengungkap jumlah penyandang autis di Indonesia. (luf)

Sumber http://www.radarjogja.co.id/berita/utama/2908-gelar-aksi-penyandang-autis-bagikan-bunga.html

Kurang, Perhatian terhadap Anak Autisme

Kamis, 2 April 2009 | 22:02 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Defri Werdiono

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Perhatian pemerintah terhadap pendidikan anak penyandang autis dirasa masih kurang. Padahal, jumlah anak autis cukup banyak, sementara mereka memerlukan model pendidikan yang berbeda dengan anak lain. Muhammad Yasin, Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Autis Bina Anggita, mengatakan, selama ini pihak sekolah lebih sering membiayai kegiatan operasional pendidikan secara swadaya. Meski disesuaikan kebutuhan, acap kali subsidi dari pemerintah tidak bisa diandalkan untuk memenuhi semua pembiayaan. "Memang ada subsidi dari pemerintah, misalnya, ketika kita butuh dana sekian maka diberi dengan catatan harus mengirimkan proposal. Namun, subsidi itu terkadang tidak sebanding dengan biaya yang harus kami keluarkan, termasuk untuk melengkapi fasilitas," ujar Yasin di sela-sela aksi damai menyambut hari peduli Autis Sedunia, di Yogyakarta, Kamis (2/4). Aksi tersebut diikuti guru, orangtua, dan murid SLB Bina Anggita. Jumlah anak usia sekolah penyandang autis di Provinsi DI Yogyakarta diperkirakan lebih dari 100 anak. Sebagian dari mereka kini tengah mengenyam pendidikan di lima sekolah, yaitu SLB Austisme Fajar Nugraha, SLB Autis Dian Amanah, SLB Fedovios, dan SLB Citra Mulya Mandiri, serta Bina Anggita. Menurut Yasin, pendidikan bagi anak autis memerlukan penanganan yang kompleks. Untuk mendukung perkembangannya diperlukan berbagai fasilitas yang harganya cukup mahal, mulai dari terapi sensorik integrasi, terapi wicara, hingga ruang kesehatan khusus dan fasilitas pendukung untuk mengembangkan bakat anak. Proses belajar mengajarnya pun memerlukan waktu cukup lama. Ia mencontohkan proses pendidikan di SLB Autis Bina Anggita yang memiliki 32 murid berlangsung mulai pukul 08.00 hingga 17.00 dengan jumlah guru 19 orang yang bekerja berdasar pembagian waktu (shift). Indarti dan Ervi Diah K, keduanya guru di SLB Autis Bina Anggita, mengatakan bahwa mengajar anak autis tak semudah anak normal. Mereka memerlukan perhatian lebih. "Jadi, kami memang harus sabar dan melakukan itu semua dengan hati," ujar Indarti. Memanfaatkan hari peduli autis sedunia ini, SLB Bina Anggita mengadakan rangkaian kegiatan, seperti outbound dan family gathering, konsultasi kesehatan, serta konsultasi seksual dan pubertas anak autis. Semua itu dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang keberadaan anak autis dan mengadvokasi pemerintah agar memberikan perhatian yang memadai terhadap remaja dan anak penyandang autisme.

Sumber http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/04/02/22021798/kurang.perhatian.terhadap.anak.autisme