Dikecam, Istilah Autisme untuk Ejekan
”Gelar Aksi, Penyandang Autis Bagikan Bunga”
JOGJA – Penggunaan istilah autisme yang semakin marak di ruang publik memunculkan keprihatinan dari komunitas autis. Bagi mereka, penggunaan istilah itu menunjukkan rendahnya empati masyarakat kepada penyandang autis. Autisme, menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah gangguan perkembangan anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu. Definisi autisme, dengan demikian, jelas merujuk pada gangguan perkembangan kejiwaan (neurological disorder). Namun, istilah autisme sering digunakan untuk mendeskripsikan sikap masa bodoh, tidak peduli, atau acuh tak acuh dengan keadaan. Istilah inilah yang memicu rasa prihatin dari komunitas autis, terutama bagi pendidik dan orang tua penyandang autis. Mereka mengkhawatirkan dampak jangka panjang yang ditimbulkan, terutama bagi penyandang autis sendiri. M Yasin, guru sekaligus pendiri SLB Autisme Bina Anggita Jogja menyatakan, penggunaan istilah autisme sebaiknya tidak sembarangan. Apalagi bila digunakan sebagai lelucon. ’’Dari berbagai diskusi yang saya ikuti di milis, saya jadi tahu perkembangan istilah autisme di kalangan masyarakat. Yang paling keterlaluan adalah menggunakan istilah autis untuk bahan guyonan,’’ tuturnya kemarin (2/4). Dia menyebut ungkapan ’’dasar autis’’ sebagai salah satu ungkapan yang keterlaluan. ’’Ini tidak pantas untuk dijadikan ejekan. Apalagi bila yang berbicara adalah orang yang sama sekali buta autisme,’’ sesalnya. Sebagai guru yang mengajari anak-anak autis setiap hari, dia paham betul perjuangan luar biasa para orang tua dalam membesarkan anak autis. ’’Mendidik anak autis agar mandiri, punya etika dan paham auran serta norma butuh kebesaran hati dan kesabaran yang sangat tinggi. Karena itu, ejek-ejekan dengan istilah autisme sangat tidak bisa saya terima,’’ tutur pria yang mengkhususkan diri mengajar autis sejak tahun 1994 ini. Keberatan juga muncul dari salah ibu yang anaknya menyandang autis, Tri Sudaryati. Yati, panggilan akrabnya, adalah ibu dari penyandang autis Ofi Novarga. ’’Penggunaan istilah autis yang sembarangan itu menyakitkan, terutama buat kami, keluarganya. Kalau anaknya sendiri sih mungkin malah tidak paham,’’ tuturnya. Sebagai ibunda Ofi, Yati merasakan sendiri sulitnya mendidik Ofi. Ketika putranya ngambek dan tidak mau bersekolah lagi, misalnya. Sejak Desember 2007, Ofi tidak mau lagi bersekolah di Fredofios, sekolah autis. “Akhirnya saya dan bapaknya berusaha menciptakan system home schooling untuk Ofi. Kami juga menyediakan banyak buku di rumah agar dia bisa terus update pengetahuan,” tutur dosen Fakultas Peternakan UGM ini. Yati menilai, penggunaan istilah autis yang tidak tepat disebabkan minimnya pengetahuan dan empati masyarakat. Kasus autis ini hanya salah satu contoh rendahnya empati yang diberikan kepada orang berkebutuhan khusus. ’’Misalnya, orang pincang sering ditirukan dan ditertawai. Padahal menjadi pincang bukan pilihannya. Guyonan dengan istilah autis juga sama,’’ kata wanita yang juga memprakarsai berdirinya sekolah Fredofios. Memperingati hari peduli autis sedunia (HPSA) yang jatuh pada hari kemarin (2/4), puluhan anak autis dari SLB Bina Anggita menggelar aksi di perempatan Kantor Pos Besar. Di jalan 0 km itu, mereka membagikan bunga-bunga kertas kepada para pengguna jalan. Puluhan anak autis berbagai usia iyu memberikan setangkai bunga kertas bertuliskan ’’Autisme World Day’’.
0 komentar:
Posting Komentar