CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Minggu, 19 April 2009

Pendidikan Murah buat Anak Autis

Oleh SITTA R MUSLIMAH
Artikel ini dimuat Kompas Jawa Barat, Sabtu 03 2008

Malang nian nasib anak-anak autis dari kalangan keluarga tidak mampu. Mereka harus rela ditelantarkan para pendidik dan lembaga pendidikan karena biaya pendidikan bagi anak autis di Indonesia harganya selangit. Kasus ini menimpa seorang Satpam di daerah Jakarta yang harus membiayai pendidikan anaknya yang autis sebesar seratus ribu per hari, sedangkan gajinya tidak sampai seratus ribu per hari.

Realitas seperti di atas mengindikasikan bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus memang harus berduit atau kaya. Lantas, bagaimana nasib anak autis dari kalangan tidak mampu? Apakah mereka harus merelakan diri hidup tanpa bimbingan dan pendidikan?

Padahal, jika diteropong secara eksistensial dan psikologis mereka juga berhak mendapatkan layanan pendidikan dari para ahli. Ketika sebuah keluarga miskin memiliki anak autis, misalnya, karena orientasi pendidikan bagi mereka mahal, boleh jadi akan menjadi beban psikologis dan menambah persoalan kian rumit. Apalagi, dengan wawasan keluarga tentang gejala autisme pada anak di Indonesia masih minim. Maka, dapat dipastikan jika anak autis dari kalangan tidak mampu telantar begitu saja.

Mereka akan tumbuh dan berkembang dalam rentang masa hidupnya tanpa diberikan pendidikan yang layak dan seimbang sehingga di masa depan dapat dipastikan jika eksistensinya akan tergerus oleh arus kehidupan. Oleh karena itu, bagi lembaga yang mewakafkan tenaganya untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus, mencoba memberikan ruang kepada anak autis dari keluarga miskin agar memeroleh pengajaran adalah keniscayaan.

Mendirikan yayasan sendiri

Di dalam UUD 1945, secara tersurat dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas pendidikan. Namun, realitas berbicara lain. Anggaran subsidi dari pemerintah untuk pendidikan anak autis tidak pernah ada, padahal kalau mengacu pada UUD 1945, anak autis dan berkebutuhan khusus (special needs) lainnya juga adalah seorang anak yang berhak memeroleh pendidikan. Maka, agar anak autis miskin bisa mendapat pendidikan murah, pemerintah harus menganggarkan (APBN atau APBD) biaya untuk pendidikan anak autis.

Sedangkan bagi keluarga kaya (aghniya) yang memiliki anak autis, dikarenakan mahalnya biaya pendidikan, solusi yang tepat adalah mendirikan yayasan swakelola untuk buah hatinya. Karena sekarang ini trend model pendidikan “Homeschooling” tengah menjamur dan hal ini bisa dimanfaatkan oleh mereka untuk dijadikan model pendidikan bagi anaknya. Kalau ingin mewakafkan sebagian harta yang berlebihan, di dalam yayasan swakelola tersebut, ada semacam pemberian pendidikan murah untuk anak autis dari kalangan tidak mampu.

Memberikan satu atau dua hari di dalam seminggu kepada anak autis dhuafa untuk merasakan pendidikan dari para ahli terapis, saya kira cukup dalam mewakafkan biaya untuk uk uran yayasan swakelola. Syukur-syukur kalau turun anggaran dari pemerintah. Maka, anak dengan gejala autis dari kalangan keluarga miskin bisa mendapatkan pendidikan dan eksistensinya sebagai bagian dari umat manusia dan bangsa ini terakui.

Misalnya di tempat kerja saya, di salah satu yayasan keluarga yang memiliki anak autis kembar, karena alasan inefektivitas dan ingin selalu dekat dengan anak, ia mendirikan yayasan anak autis. Sekarang, yayasan tersebut mengarah kepada pendirian lembaga pendidikan khusus bagi anak dengan gejala autis. Ketika menginformasikan hal tersebut kepada salah satu teman semasa kuliah, ia memberikan masukan untuk memberikan ruang bagi anak autis tidak mampu. Alasannya, pendidikan untuk anak autis harganya melangit, sehingga nasib seorang anak dari keluarga tidak mampu terkatung-katung karena tidak mendapatkan penanganan sejak dini dari oran g tua dan terapis.

Gagasan pendidikan murah

Mantan aktivis di organisasi kemahasiswaan itu, merasa iba dengan nasib saudaranya yang memiliki gejala-gejala autisme tapi tidak memeroleh pendidikan dikarenakan ketidaktahuan oran g tua dan tidak tersedianya lembaga pendidikan khusus murah di daerahnya. Meskipun ada, hanya lembaga pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB) di kota dan jaraknya jauh dari desa, sehingga terbentur dengan biaya. Dengan nada sedikit bercanda, entah serius, ia berujar: “kalau begitu mah, saya harus mendirikan pesantren anak autis bagi anak tidak mampu”.

Diskusi menarik dan alot itu, menyadarkan saya untuk menyampaikan gagasan pendidikan murah bagi anak autis kepada pemilik yayasan di mana saya bekerja dan mengabdi. Karena, mengutip pengalaman saudara teman saya dari kalangan keluarga tidak mampu, saudaranya itu terlihat tidak menampakkan perkembangan jiwa dengan seumurannya. Hal itu diakibatkan, anak autis tersebut tidak mendapatkan penanganan dari para ahli, sehingga meskipun anak yang sebaya dengannya telah menginjak kelas satu SMA, dari sisi perilaku ia terlihat tidak sesuai dengan perkembangan.

Hal itu disebabkan tidak adanya pendidikan yang peka terhadap keberadaan anak berkebutuhan khusus (special need) dari kalangan miskin. Apalagi, dengan orientasi lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus di negeri ini yang belum bisa diakses kalangan miskin, menjadikan banyak sekali bergelimpangan anak-anak yang terlantar kemudian tidak memeroleh pendidikan dan bimbingan. Hal ini menjadikan eksistensi anak-anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak autis, terpinggirkan meskipun ada payung hukum berupa UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah untuk memenuhi hak anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pengajaran dan pengarahan sehingga bisa berperan bagi bangsa ke depan.

Kurang dari 5 persen anak-anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang menikmati layanan pendidikan. Dari perkiraan 1,5 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia , baru 66.000 anak yang mendapat layanan pendidikan (H.U. Kompas, 07 November 2007 ). Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa pemerintah belum secara serius menggarap pendidikan murah bagi anak-anak berkebutuhan khusus dari kalangan tidak mampu, karena boleh jadi dari sekitar 1, 5 juta anak itu terdiri dari anak berkebutuhan khusus yang miskin. Alhasil, baru sekitar 66.000 anak saja pada tahun 2007 yang mendapatkan layanan pendidikan. Apalagi bagi anak autis di Indonesia. Boleh jadi hanya segelintir orang tua kaya saja yang bisa menyekolahkannya dan memperoleh layanan pendidikan kendati harus merogoh banyak uang di kantong.
Di Indonesia, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah anak autis; tapi diperkirakan jumlahnya mencapai sekitar 150 –200 ribu orang. Saya pikir sebagai warga bangsa yang beradab memerhatikan anak-anak yang tidak mampu tersebut dengan memperjuangkan pendidikan murah atau gratis, merupakan misi membangun bangsa berperadaban di masa mendatang. Kita, tentunya, akan tetap menjadi bangsa besar jika saja tanpa pandang bulu memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus dan utamanya kepada anak autis dari kalangan tidak mampu. Sebab, mereka juga adalah harapan bangsa. Bukan cacat bagi Negara ke depannya. Wallahua’lam

http://sittaresmiyanti.wordpress.com/2008/04/02/pendidikan-murah-buat-anak-autis/

0 komentar: