CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Minggu, 01 Maret 2009

pembiayaan pendidikan

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM

Monday, 16 April 2007

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pendahuluan

"Orang miskin dilarang sekolah," demikian jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan,

khususnya biaya pendidikan tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik

Negara), tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri.

Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, untuk masuk fakultas kedokteran sebuah

PTN melalui "jalur khusus", ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan pemerintah yang mengadopsi ideologi penjajah kafir khususnya AS,

yakni neoliberalisme. Sebagai salah satu varian kapitalisme --seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi

pemerintah-- neoliberalisme justru sebaliknya. Neoliberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tematema

pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (Adams, 2004).

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala

buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan

mahal akibat tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekuler saat ini.

Pendidikan Tanggung Jawab Negara

Beda dengan neoliberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan

tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut

infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam

pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus Al-Ta'lim Al-Manhaji, hal. 12).

Mengapa demikian? Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan,

kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana

negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat

langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-

Maliki, 1963).

Dalilnya adalah As-Sunnah dan Ijma' Sahabat. Nabi SAW bersabda :

"Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu." (HR Muslim).

Setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari baca

tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).

Ijma' Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan

Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut

dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non

muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak

abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana

dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan "iwan" (auditorium), asrama

mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi,

kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad,

Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh

Khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga

ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara

gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa,

lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula

sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).

Namun perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif

rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan,

sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti

Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari

wakaf (Qahaf, 2005).

The house of Khilafah1924.org

http://www.khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 2 March, 2009, 08:55

Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu. Seperti wakaf untuk

ilmuwan hadits, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus guru anak-anak, wakaf

khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu Al-Qur`an. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-

Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alatalat

tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).

Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Sedangkan melalui inisiatif

wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau paling

tidak murah bagi rakyat.

Pembiayaan Pendidikan Dalam Khilafah

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari

negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan

umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan

kharaj --yang merupakan kepemilikan negara-- seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah,

dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum

yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk

pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9

: 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika

terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh).

Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-

Maliki,1963).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk

membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain.

Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama,

perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).

Potensi Sumber Pembiayaan Pendidikan Saat ini

Telah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan pendidikan gratis dalam Khilafah.

Pertanyaannya adalah, mampukah kita menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber

pembiayaan saat ini?

Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai

anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk

pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)

untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi.

Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun

akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya yang

diolah dari berbagai sumber :

1. Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).

2. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).

3. Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)

4. Potensi pendapatan migas Blok Cepu per tahun sebesar US$ 700 juta รข€“ US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)

Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan

penegakan hukum dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW

(Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia

yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.

Penutup

Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah

sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara.

Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah

yang bobrok dan korup.

Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Karena yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang

setia pada Islam dan umatnya. Bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komprador asing dengan

menjalankan neoliberalisme yang kafir. [ ]

DAFTAR PUSTAKA

The house of Khilafah1924.org

http://www.khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 2 March, 2009, 08:55

Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (Hizbut Tahrir : t.p.), 1963

Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit

Qalam), 2004

Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Ad-Dawlah Al-Utsmaniyah 'Awamil al-

Nuhudh wa Asbab as-Suquth), Penerjemah Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar), 2004

An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 1990

Azmi, Sabahuddin, Islamic Economics, (New Delhi : Goodword Books), 2002

Karim, Adiwarman (Ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : IIIT), 2001

Khalid, Abdurrahman Muhammad, Soal Jawab Seputar Gerakan Islam, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah), 1994

Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siayasah Al-Maliyah Li 'Umar bin Khaththab),

Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh, (Jakarta : ustaka Azzam), 2002

Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif (Al-Waqf Al-Islami Tathawwuruhu Idaratuhu Tanmiyatuhu), Penerjemah

Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta : Khalifa), 2005

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam (Economics Doctrines of Islam), Jilid 1, Penerjemah Soeroyo & Nastangin,

(Yogyakarta : PT. Dhana Bhakti Wakaf), 1995

Yurino, Ari, Privatisasi Dunia Pendidikan: Hancurnya Pendidikan Bangsa,

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1533&post=3

Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul 'Ilmi lil Malayin), 1983

The house of Khilafah1924.org

http://www.khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 2 March, 2009, 08:55

0 komentar: