CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Selasa, 12 Mei 2009

Komite Sekolah, Manis Regulasi, Tragis Implementasi

Sungguh antusias membaca eksistensi Komite Sekolah (KS) dalam konsideran, tujuan, maksud, bagian, bab, pasal, ayat, maupun penjelasan regulasi pendidikan.

UU Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan KS adalah lembaga mandiri orang tua/wali siswa yang peduli pendidikan. Dalam pasalnya, juga dicantumkan peran KS untuk ikut mengembangkan kurikulum, meningkatkan mutu pelayanan pendidikan, dan mengawasi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan menegaskan, KS ikut mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SD.
Dalam kaitan mutu pendidikan, disebutkan pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar bidang non-akademik dilakukan oleh KS yang dihadiri kepala satuan pendidikan, dan dilaksanakan atas dasar prinsip musyawarah mufakat yang berorientasi pada peningkatan mutu satuan pendidikan.
Dari sisi pengawasan, KS melaksanakan secara teratur dan berkesinambungan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas satuan pendidikan yang dilaporkan oleh pimpinan satuan pendidikan.
Keputusan Menteri Pendidikan Nomor 044/U/2002 menguraikan peran KS adalah sebagai pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan. Sebagai pendukung finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan. Di samping itu, sebagai pengontrol demi transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
Di atas kertas, tersurat secara jelas, tegas dan lugas tentang tujuan, peran, dan fungsi KS. Bahkan, rumusan kalimat dan pilihan kata seolah dirancang menghindari debat kusir, aneka tafsir, dan beribu interpretasi.

Implementasi
Namun, manis di regulasi, lain implementasi. Dalam kenyataannya, eksistensi KS diposisikan sebagai hiasan, artifisial, atau sekadar ada oleh pengelola sekolah. Kesan sebagai tukang stempel itu dapat dirasakan pada beberapa aras.
Pertama, meski perangkat hukum telah mengaskan KS sebagai lembaga yang harus dilibatkan dalam proses kegiatan belajar mengajar, tapi aparat (pengawas) pendidikan dasar (dikdas) Kecamatan hingga Provinsi tak pernah sekalipun mengajak komunikasi, diskusi, maupun musyawarah. Dalam praktiknya, Dikdas tidak memposisikan KS sebagai stakeholder, melainkan sebagai kepanjangan tangan dan menstempel keputusannya. Dalam bahasa gaulnya, pokoknya Komite Sekolah itu terima aja deh!
Kedua, penyelenggara satuan pendidikan, Kepala Sekolah, setali tiga uang dengan aparat Dikdas. Kepala Sekolah menggiring fungsi KS sebagai pendukungnya. Tidak terlihat sedikitpun gelagat memandang KS sebagai mitra sejajar untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.
Ambisi itu terpancar jelas dari perilaku Kepala Sekolah saat menyusun kurikulum, menjalankan kegiatan belajar mengajar, dan mengatur sarana sekolah. Kurikulum disusun sendiri tanpa melibatkan KS. Proses belajar dirancang sendiri versi Kepala Sekolah.
Untuk menutupi kelemahan manajemen penyelenggaraan sekolah, Kepala Sekolah mengkampanyekan slogan dagang “Kalau Puas Beritahu Orang Lain, Bila Kecewa Beritahu Kepala Sekolah Saja”. Sebuah cara pandang kerdil untuk melumpuhkan daya kritis orangtua siswa.
Berbekal slogan itu pula, aktivitas ekstra kurikuler dijauhkan dari lembaga/institusi eksternal. Karena, mengundang eksternal masuk sama saja dengan memicu terbukanya ke publik soal praktek kotor dalam sekolah.
Di sinilah, tampak Kepala Sekolah ingin membangun oase penyelenggaraan pendidikan. Biasanya, segi prestise atau gengsi yang telah disandang sekolah dijadikan sarana menakut-nakuti orang tua. Misalnya, demi mempertahankan sebutan sekolah unggulan, orangtua jangan “rame-rame” melihat ketidakberesan sekolah, karena hal itu berimbas dicabutnya status sekolah unggulan.
Manipulasi informasi itu jelas menyesatkan orangtua. Padahal, peraturan pemerintah memang bermaksud mengganti sebutan sekolah unggulan dengan akreditasi. Jadi, kepala sekolah memlintir aturan demi keuntungan pribadi.
Ketiga, ketentuan sertifikasi guru sekolah yang minimal lulusan D4 atau S1 juga diplintir. Kepada orangtua siswa, Kepala Sekolah mengatakan bahwa dirinya bertekad memotivasi guru untuk meningkatkan kapasitas mengajar dengan bersekolah lagi. Dengan begitu, anak orangtualah yang untung. Gengsi lembaga sekolah juga terjaga. Karena itu, orangtua silakan mendonasi aktivitas tersebut dan rela menerima kenyataan kalau guru mengurangi jam belajar siswa, tak bisa mengajar, atau tak masuk sekolah karena alasan bersekolah lagi. Dalam konteks itu, seolah Kepala Sekolah begitu peduli terhadap kualitas sekolah. Padahal, kenyataannya, para guru sedang “berburu gelar” demi sertifikat. Aktivitas pribadi itu jelas merugikan kepentingan siswa didik.
Keempat, dalam hal pengadaan sarana dan fasilitas sekolah. Kepala Sekolah dengan gaya kepemimpinannya yang one man/woman/person show bebas sesuka hati menetapkan alokasi anggaran pengeluaran sekolah. Tanpa mengacuhkan pendapat KS.

Kualifikasi Kepala Sekolah
Praktek Kepala Sekolah sedemikian itu membuat KS mempertanyakan kualifikasi Kepala Sekolah. Khususnya ketentuan PP 19/2005 yang mensyaratkan, Kepala Sekolah harus memiliki jiwa pemimpin. Kepemimpinan yang baik, menurut tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro, adalah ing ngarso sung tulodho (di depan memberi teladan), ing madyo mangun karso (di tengah mengembangkan sikap kreatif), dan tutwuri handayani (mendukung dari bekakang).
Dalam realitanya, Kepala Sekolah justru membelakangi prinsip emas kepemimpinan tersebut. Dalam penyelenggaraan sekolah, tak ada teladan. Yang ada, Kepala Sekolah merasa sebagai penguasa tunggal, boleh memutuskan segala hal, mulai kurikulum, penyelenggaraan proses belajar, hingga fasilitas sekolah.
Pun demikian menyusun rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS). Jalan pikiran Kepala Sekolah amat sangat dominan, dan kalau perlu KS hanya tanda tangan saja. Prinsip transparan, jujur, dan akuntabel diabaikan. Bahkan, meski ada program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), Kepala sekolah masih tega memungut uang try out dan buku pedoman ke siswa kelas 6.

Belajar Demokrasi
KS harus menghadapi tembok raksasa kultur “koruptif”. Aroma mau menang sendiri dan tak peduli lembaga lain dalam lingkungan sekolah masih kental mewarnai dunia pendidikan. Sementara itu, bisa jadi, hanya sedikit pengurus KS yang kritis. Itulah kendala besar, partisipasi orangtua siswa dalam penyelenggaraan sekolah.
Semangat partisipatif mengelola sekolah dari KS sebagaimana tertuang di regulasi pendidikan, rupanya disokong oleh birokrasi lapuk dan pejabat sekolah “koruptif”. Sehingga niatan mengubah tata kelola sekolah menuju demoktratis amat tersendat, atau macet total
Karena itulah, agar tragika pendidikan tak terus berlangsung, selain komitmen KS, dunia pendidikan membutuhkan sikap legawa aparat birokrasi level kecamatan ke atas, serta kepala sekolah, untuk mau berubah menjadi lebih baik. (Teguh Imawan, orangtua siswa di Jakarta)—

Sumber : http://transparansipendidikan.blogspot.com/2009/03/176-sekolah-di-dki-tolak-dana-bos.html

0 komentar: