CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Selasa, 12 Mei 2009

Posisi Orangtua dan Transparansi Dana Sekolah

Mendiknas Bambang Sudibyo meminta penyaluran dan pemakaian dana bantuan operasional sekolah (BOS) dilaksanakan secara transparan untuk mencegah penyimpangan atau kecurigaan masyarakat terhadap penggunaan dana BOS. Mendiknas menekankan kalaupun ada penyimpangan itu cuma kasus, dan yang lebih penting adalah mendorong ke permukaan penggunaan dana BOS itu transparan.
Pernyataan Mendiknas menarik dicermati karena dua hal. Pertama, pernyataan meluncur di tengah kenyataan adanya laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK ) yang menyebutkan, penyaluran dana BOS SD-SMP disinyalir bermasalah, terutama terkait dengan penggelembungan jumlah siswa, pengajuan tanpa izin, dan penggunaan dana tak sesuai peruntukan. Terungkap melalui laporan, penyaluran dana BOS tanpa menimbulkan masalah hanya ada di tiga dari 21 propinsi penerima BOS. Jadi, penyimpangan BOS cuma kasus?
Kedua, ajakan penggunaan dana BOS secara transparansi. Justru pada segi transparansi/keterbukaan inilah orangtua siswa menuntut birokrasi pendidikan bertanggungjawab dan berbenah diri. Kepala (manajemen) sekolah, sebagai ujung tombak birokrasi pendidikan, tatkala berhadapan dengan orangtua tampak susah membuka akses orangtua terhadap peruntukan dana BOS (maupun dana lain dari pemerintah daerah, block grant, dan orangtua siswa).
Dinding Beton
Sejak kenaikan harga BBM 2005, secara umum kemampuan orangtua menyekolahkan anak terbanting sekeras-kerasnya. Akses anak miskin (terbatas finansial) mencicipi kemewahan bersekolah seolah membentur dinding beton. Ironisnya, skema menolong siswa miskin melintasi tembok beton dihambat aparat birokrasi pendidikan yang “bermuka tebal, berhati hitam”.
Meskipun level Mendiknas dan Direktur Jenderal Depdiknas gembar-gembor agar mekanisme penyaluran dana BOS dibuat praktis, kenyataan bicara lain. Melihat penyulitan penyaluran dana, mencuatkan kecurigaan, jangan-jangan pola pikir birokrasi pendidikan masih tersungkup dalil, “Kalau ada cara yang lebih rumit dan sulit, kenapa harus menempuh cara gampang?”
Dalil itu terbukti pada kasus penyaluran dana BOS yang seharusnya lewat rekening bank sekolah, namun oleh dinas pendidikan diarahkan lewat kantor pos (Kompas, 10 Maret 2007). Yang lebih tragis lagi, bila kepala (manajemen) sekolah yang berpeluang menjadi pembuka tabir ketertutupan penggunaan dana, justru gemar “bermain” dalam kegelapan. Bagaimana pun, pada tingkat sekolah, sikap kepala sekolah menjadi faktor kunci, gelap atau terangnya tata kelola dana sekolah.
Celakanya, pengalaman empiris sejumlah orangtua memperlihatkan betapa kepala (manajemen) sekolah masih ogah-ogahan membuka pintu akses orangtua untuk mengetahui kapan sekolah menerima dana BOS, alokasi peruntukannya, dan format pelaporan pertanggungjawabannya. Bahkan, orangtua di sekolah negeri/swasta berstatus percontohan, unggulan, serta berpredikat SEAMEO (South East Asia Minister of Education Organization) dirundung problem serupa.
Di kalangan orangtua, sudah bukan rahasia lagi kalau berkas laporan surat pertanggungjawaban (SPJ) dana BOS maupun dana BOP/Bantauan Operasional Pendidikan (untuk sekolah di Jakarta) yang dibuat sekolah, hanya formalitas belaka, “jadi-jadian”, “sulapan”, alias tak mencerminkan kenyataan sesungguhnya. Ini bisa terjadi, karena atasan kepala sekolah tak pernah menguji/mengkonfirmasi kebenaran isi SPJ ke orangtua siswa.
Dalam situasi sedemikian itu, ujung-ujungnya adalah orangtua pada posisi korban, karena orangtua dibebani membayar aneka macam sumbangan/pungutan tanpa memperoleh laporan penggunaannya. Meskipun ada sekolah menarik besar sumbangan rutin bulanan melebihi maksimal ketentuan Dinas Pendidikan, toh kepala (manajemen) sekolah yang seperti itu tidak jua ditindak.
Empat Cara
Kembali ke statemen Mendiknas yang mendorong transparansi pengelolaan dana sekolah, niscaya semua sepakat. Tapi, bagaimana caranya?
Pertama, pihak sekolah wajib membuka ruang orangtua untuk bisa mengetahui informasi pendapatan dan belanja sekolah. Tak hanya di atas kertas, tapi benar-benar dilaksanakan. Untuk itu, orangtua wajib dilibatkan dalam perumusan, peruntukan, dan pengawasan dana sekolah. Pelibatan orangtua penting, karena ia menjadi “mata” dan “telinga” yang menyaksikan, mendengarkan, dan merasakan day to day pengelolaan dana sekolah.
Pengawasan oleh orangtua relatif lebih manjur dibanding aparat pengawasan di atasnya. Kualitas pengawasan ala atasan acapkali informasi tidak akurat, karena informasi hanya berasal dari kepala sekolah saja. Mendengarkan informasi sepihak tanpa mendengarkan penilaian orangtua niscaya menyuburkan kultur ABS (Asal Bos Senang) dan melestarikan kebiasaan koruptif.
Kedua, bila ingin mengembangkan praktek demokrasi di sekolah, maka perlu diperkuat fungsi pengawasan orangtua kepada kepala (manajemen) sekolah. Hasil penilaian orangtua dijadikan komponen utama mengevaluasi kinerja kepala sekolah. Hasil evaluasi kinerja itu menjadi pegangan utama birokrasi pendidikan menetapkan apakah kepala sekolah perlu diperpanjang masa jabatannya ataukah sebaliknya. Dengan model pengawasan dan evaluasi sedemikian itu, arah orientasi kepala sekolah yang semula menghamba ke atasan (birokrasi) bisa beralih ke orangtua (stakeholder).
Ketiga, penilaian orangtua yang mengikat kepala sekolah niscaya menggiring orangtua untuk ikut memiliki sekolah. Sinergi ini memudahkan proses belajar mengajar sekolah yang berkualitas. Spirit memajukan sekolah terlecut berkat adanya semacam jaminan bahwa dana sekolah diarahkan untuk menunjang kepentingan langsung siswa. Gilirannya, orangtua tak berat hati merogoh kantong demi memajukan sekolah tempat anaknya berada.
Akhirnya, orangtua siswa ditantang kepedulian, kekritisan, independensi, dan keberaniannya mencermati pengelolaan dana sekolah. Tipisnya rasa peduli, tebalnya rasa sungkan ke kepala (manajemen, guru) sekolah, dan takut anaknya diintimidasi merupakan faktor yang melekat ke kalangan orangtua, sekaligus itu sebagai kesempatan lebar kepala (manajemen) sekolah mengelola dana sekolah secara gelap.
Kini, tiba saatnya orangtua mengumandangkan 3 (tiga) C, --yakni care (menumbuhkan kepedulian), clear (memperjelas peruntukan), dan clean (bersih dari penyimpangan) terhadap dana sekolah. Sudahkah kita melakukannya? (Teguh Imawan, orangtua siswa di Jakarta)

Sumber : http://transparansipendidikan.blogspot.com/2009/03/176-sekolah-di-dki-tolak-dana-bos.html

0 komentar: